INVESTIGASI86 • Pasal penghinaan presiden di Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) disebut sebagai warisan kolonial Belanda yang pada masanya ditujukan untuk membungkam kritik pers. Upaya menghidupkannya dinilai sebagai kemunduran drastis demokrasi.
“Pasal-pasal ini sudah ada sejak zaman kolonial dan tujuannya, kaitan dengan pers, untuk merepresi jurnalis pada masa itu. Memprihatinkan itu produk kolonial yang dipakai untuk menundukkan jajahannya, namun dipakai hari ini di suatu negara yang sudah merdeka kepada warganya,” kata Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) Wijayanto, pada kanal Youtube ICJRID, Kamis (10/6)
Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 218 dan Pasal 2019 yang mengatur tentang Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dengan ancaman penjara 3 tahun 6 bulan atau denda Rp200 juta. Lalu, Pasal 240 dan Pasal 241 mengatur tentang Tindak Pidana Penghinaan terhadap Pemerintah dengan ancaman penjara 4 tahun 6 bulan atau denda Rp500 juta.(cnnindonesia)
KUHP merupakan himpunan hukum yang mengatur perbuatan pidana secara materiil di Indonesia. Menurut peneliti hukum dari Universitas Indonesia Heru Susetyo, pasal-pasal KUHP yang berlaku saat ini dirujuk langsung dari kitab hukum pidana kolonial Hindia Belanda Wetboek van Straftrecth voor Nederlandsch India (WvS).
Pasal Lèse-majesté dan haatzai artikelen yang sempat termaktub dalam KUHP dan masuk dalam RKUHP itu pun merupakan sejumlah pasal yang diadopsi dari WvS.
Ruth T. McVey , dalam Kemunculan Komunisme di Indonesia (2010), mencatat, WvS pasal 155 mengatur sanksi pidana bagi mereka yang menyebarkan, “Tulisan atau gambar yang membangkitkan atau mendorong perasaan, benci, atau jijik terhadap Pemerintah Belanda maupun Hindia Belanda.” Sementara itu, WvS pasal 156 menyebutkan larangan untuk, “Dengan sengaja membangkitkan atau mendorong perasaan marah, benci, atau jijik terhadap kelompok penduduk Hindia Belanda.” (hlm. 495)
Mengutip tirto.id