Selasa, 15 April 2025
Jalan raya itu seperti kehidupan tidak pernah bisa ditebak. Kadang lengang, kadang sesak, kadang mulus, kadang berlubang. Kita bisa berangkat pagi-pagi dengan rencana sempurna, tapi tak pernah tahu apa yang menunggu di tikungan berikutnya.
Di balik klakson yang bersahutan dan lampu-lampu yang bergantian, selalu ada kisah manusia yang berkejaran dengan waktu dan kadang dengan maut.
Saya pernah satu kali menyaksikan terjadinya kecelakaan kecil di pertigaan lampu merah. Seorang pengendara motor menerobos ketika lampu sudah kuning menjelang merah. Dari arah lain, mobil melaju tanpa sempat menghindar. Tidak ada korban jiwa, alhamdulillah.
Tapi sepuluh menit setelah itu suasana menjadi tegang, panas dan saling menyalahkan. Padahal andai sedikit saja menahan diri, semua bisa dihindari.
Dari peristiwa kecil itu, saya belajar bahwa kewaspadaan bukan hanya soal menghindari bahaya, tapi soal menghargai hidup sendiri dan hidup orang lain. Setiap kali kita menyalakan mesin kendaraan, kita bukan hanya membawa tubuh kita di atas aspal, tapi juga membawa harapan orang-orang yang mencintai kita. Mereka yang menunggu kita pulang. Mereka yang tak ingin kehilangan kita hanya karena satu momen ceroboh.
Di jalan kita berjumpa dengan banyak karakter: yang sabar, yang emosional, yang suka menyerobot dan yang terlalu percaya diri. Tapi di atas semua itu yang paling penting adalah karakter diri sendiri. Apakah kita cukup tenang untuk mengalah? Cukup bijak untuk menunda satu menit demi keselamatan? Atau justru kita menjadi bagian dari masalah yang setiap hari menghiasi berita kriminal dan kecelakaan?
Sayangnya, banyak dari kita yang menganggap kecelakaan itu takdir semata. Padahal sebagian besar kecelakaan adalah akibat kelalaian bukan hanya takdir. Tidak menghidupkan lampu sen, bermain ponsel sambil berkendara atau mengantuk tapi tetap memaksakan diri. Kita terlalu sering menantang batas, padahal hidup ini tak pernah memberi kita kesempatan kedua yang utuh.
Saya jadi teringat sebuah nasihat lama: “Orang sabar bukan berarti lambat. Ia hanya tahu bahwa keselamatan lebih penting daripada kecepatan.”
Jalanan bukan sirkuit, kita bukan pembalap, Maka tak perlu merasa malu untuk pelan-pelan, asal selamat. Toh, pulang dengan utuh jauh lebih berharga daripada datang cepat tapi tinggal nama.
Media kita setiap hari memberitakan angka kecelakaan, namun jarang ada ruang untuk perenungan. Seakan-akan itu hanya statistik. Padahal di balik setiap angka, ada keluarga yang kehilangan. Ada anak yang jadi yatim, ada istri yang harus belajar tegar, ada orang tua yang ditinggal anaknya lebih dulu. Luka-luka yang tidak bisa disembuhkan oleh sekadar santunan.
Maka, mari kita mulai dari diri sendiri. Jadilah pengendara yang bukan hanya mahir, tapi juga matang secara emosi. Jangan jadikan jalanan sebagai tempat pelampiasan stres atau ego. Setiap klakson yang kita tekan harusnya jadi pengingat, bukan ancaman. Setiap rem yang kita injak, adalah bentuk kasih sayang untuk hidup yang masih ingin kita jaga.
Di tengah kehidupan yang serba cepat ini, kewaspadaan adalah bentuk ibadah. Ia bukan hanya melindungi tubuh, tapi juga menjaga amanah yang kita bawa: keluarga, cita-cita, dan masa depan. Dan mungkin, dalam tiap hati-hati kita di jalan, ada pahala yang diam-diam mengalir. Karena di zaman ini, selamat sampai tujuan pun adalah bentuk keberhasilan yang tak bisa diremehkan
Penulis : Ahmad Marzuki Hasan
Pengasuh Pondok Pesantren Thariqul Mahfudz Sumbersari Melaya Jembrana