Di Negeri ini kejahatan tak lagi datang dengan penampilan sangar atau dengan bayangan yang menyeramkan. Ia menjelma dalam rupa: penipuan digital, manipulasi birokrasi, kekerasan simbolik di ruang publik. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, semua itu dianggap lumrah dan biasa. Masyarakat terpaksa hidup berdampingan dengan kriminalitas—bukan karena setuju, tapi karena kehilangan kepercayaan pada sistem yang dianggap tak mampu memberi perlindungan dan rasa aman.
“Kejahatan tumbuh bukan hanya karena niat, tapi karena ada kesempatan,” ujar kriminolog Dr. Adrianus Meliala. Pernyataan ini menegaskan bahwa ruang publik kita kini penuh dengan celah hukum dan sosial. Saat pengawasan hukum longgar, regulasi lemah, dan penegakannya lambat, maka pelaku kejahatan akan selalu merasa aman. Sementara masyarakat, semakin terbiasa menjadi korban atau paling tidak menjadi penonton, bukan sebagai pelapor yang aktif.
Di lapangan, aparat penegak hukum bekerja dengan semangat dan tantangan yang tidak ringan. Bukan soal keterbatasan sumber daya manusia dan teknologi, tapi juga persoalan tumpang tindihnya kewenangan, tekanan politik, hingga resistensi internal. Proses hukum pun kerap tersendat dalam kasus-kasus yang seharusnya bisa dituntaskan. Akibatnya, kepercayaan publik semakin merosot—dan ini fakta bukan tanpa alasan.
Namun, di luar kegagalan teknis, ada hal yang lebih mendasar : kita terlalu sibuk memburu pelaku, tapi mengabaikan sistem yang memproduksi kejahatan secara berulang. Dari kacamata sosiologi kriminal, tindak kejahatan seringkali mencerminkan kegagalan struktur sosial—baik dalam pendidikan karakter, pengasuhan keluarga, maupun distribusi keadilan ekonomi. Ketika ketimpangan dibiarkan tumbuh dan berkembang, maka kejahatan pun akan menjadi jalan keluarnya.
Para pakar kriminologi mendorong pendekatan preventif berbasis komunitas sebagai strategi utama. Warga tak hanya dijadikan objek perlindungan, tapi sebagai subjek pencegahan. Konsep ini menempatkan masyarakat sebagai mata elang dalam sistem deteksi dini terhadap kejahatan. Sayangnya, pendekatan ini kerap kekurangan dukungan—baik dari sisi regulasi maupun anggaran yang memadai. Padahal, pencegahan selalu lebih mudah dan berdampak ketimbang penindakan.
Lebih jauh, hukum yang baik tidak cukup hanya disusun rapi di atas kertas. Ia harus dipercaya, dirasakan kehadirannya, dan ditegakkan secara adil dan manusiawi. Ketika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, bukan hanya ketidakadilan yang tumbuh, tapi juga frustrasi sosial yang semakin menjalar. Fenomena ini oleh Prof. Eddy O.S. Hiariej disebut sebagai “krisis legitimasi hukum”—hukum ada, tapi tak dapat dipercaya.
Kriminalitas bukan sekadar data statistik atau tayangan berita di layar kaca. Ia adalah indikator luka sosial yang belum tertangani. Bila hari ini kejahatan terasa biasa saja, itu pertanda bahwa moral publik sedang lumpuh, dan hukum kehilangan daya. Dan ketika kita diam, di sanalah kejahatan benar-benar berkuasa.
Oleh : Ahmad Marzuki Hasan
Pengasuh Pondok Pesantren Thariqul Mahfudz Sumbersari, Melaya, Jembrana, Bali