Timor Tengah Selatan _ NTT
Polemik perekrutan Tenaga Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) semakin memanas. Dugaan manipulasi syarat dan pelanggaran aturan dalam proses peralihan status tenaga outsourcing ke tenaga non ASN di Sekwan DPRD TTS menjadi sorotan.
Sejumlah mantan tenaga outsourcing yang bekerja di Sekwan DPRD TTS melalui PT. Trigama Group merasa dirugikan dengan proses peralihan status yang mereka anggap tidak adil dan tidak transparan. Iswandy Godlief Dominggus Lona, salah satu mantan tenaga outsourcing yang bekerja selama tiga tahun (2020-2023) di Sekwan DPRD TTS, menyatakan kekecewaan dan keheranannya.
“Bagaimana mereka bisa beralih status dari outsourcing ke tenaga ASN tanpa memenuhi syarat dan prosedur yang benar?” tanya Iswandy, mengungkapkan kekesalannya atas perlakuan yang dinilainya diskriminatif. Ia menambahkan, “Banyak masyarakat di TTS yang juga membutuhkan pekerjaan. Apa istimewanya mereka sampai mendapat perlakuan khusus seperti ini?”
Iswandy menyebutkan bahwa dirinya mengetahui latar belakang pendidikan dari tenaga non ASN yang dipekerjakan PT. Trigama Group dan meragukan kelayakan mereka untuk menjadi ASN. Ia menegaskan bahwa sejak tahun 2022 aturan tidak lagi mengizinkan perekrutan tenaga honorer atau non ASN.
Kepala BKPSDMD Kabupaten TTS, Dominggus Banunaek, menjelaskan bahwa peralihan status tenaga outsourcing telah dilakukan pada tahun 2022/2023 sesuai persetujuan Komisi I DPRD TTS.
“Status mereka dialihkan ke tenaga honorer Setwan. Tenaga outsourcing tidak bisa langsung mengikuti seleksi PPPK,” terang Dominggus.
Namun, Ketua Forum Pemerhati Demokrasi Timor (FPDT), Dony Tanoen, menyatakan keprihatinannya dan menilai bahwa peralihan status tersebut jelas melanggar aturan dan merupakan perbuatan melawan hukum.
“Jika informasi tersebut benar, maka jelas menyalahi aturan terkait seleksi PPPK dan merupakan perbuatan melawan hukum karena ada SPTJM dan itu pemalsuan dokumen,” tegas Dony.
Dony mempertanyakan status dan masa kontrak tenaga outsourcing yang beralih status ke tenaga non ASN tersebut.
“Jika status mereka beralih ke tenaga honorer pada 1 Januari 2024, maka sesuai aturan masa kerja mereka belum sampai 2 tahun minimal. Nah, mereka baru 1 tahun. Jangan sampai aturan ini hanya diberlakukan bagi tenaga honorer di Sekwan sedangkan di luar Sekwan tidak diberlakukan,” tanyanya.
Dony mendesak Komisi I DPRD TTS untuk segera mengevaluasi polemik ini agar tidak berkepanjangan dan menuntut klarifikasi terhadap proses peralihan status tersebut. Ia juga mempertanyakan ketidakkonsistenan DPRD dalam menanggapi kasus ini dibandingkan dengan kasus lainnya yang melibatkan kepala sekolah.
“Jangan saat kepala sekolah membuat SPTJM bagi pelamar yang tidak memenuhi syarat, DPRD tegas memanggil BKPSDMD, Kadis P & K serta kepsek untuk RDP sedangkan untuk Sekwan tidak ada RDP,” jelasnya.
Dony menyatakan bahwa FPDT akan menempuh jalur hukum jika persoalan ini tidak ada kejelasan.
“Jika dibiarkan, Forum Pemerhati Demokrasi Timor akan bawa persoalan ini ke jalur hukum. Siapa yang mengeluarkan SPTJM harus bertanggung jawab secara hukum. Ini sebenarnya pembohongan dan penipuan bagi teman-teman outsourcing, sehingga jika ke depan teman-teman yang menurut saya telah ditipu tidak lulus atau dianulir dari seleksi PPPK karena tidak prosedural maka DPRD harus ada solusi lain agar teman – teman tetap bekerja,” tutupnya.
Polemik ini menunjukkan perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam proses perekrutan tenaga kerja di lingkungan pemerintah. Pihak yang terkait diharapkan dapat memberikan penjelasan yang jelas dan mencari solusi yang adil agar tidak terjadi kerugian bagi masyarakat.