Soe-Investigasi86.com-Hilangnya aset negara dari tiga rumah jabatan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) adalah ironi yang menyayat nalar publik. Bukan sekadar peristiwa administratif, tetapi refleksi telanjang atas lunturnya akuntabilitas dan kehormatan pejabat publik di daerah ini.
Temuan Badan Inspektorat Kabupaten TTS atas kehilangan aset senilai Rp1,5 miliar, yang hingga kini belum ditindaklanjuti secara serius, memantik kecurigaan mendasar: adakah kemauan politik untuk membenahi kebobrokan ini, ataukah integritas institusi pengawasan justru terkubur dalam kelindan kepentingan?
Persoalan ini jauh melampaui angka dalam laporan keuangan. Bagi masyarakat TTS yang bergulat dengan kemiskinan ekstrem, terbatasnya akses pendidikan dan kesehatan, serta infrastruktur yang memburuk, nilai Rp1,5 miliar bukanlah sekadar statistik—melainkan harapan yang nyata. Dana sebesar itu dapat memperbaiki sekolah rusak, memperkuat fasilitas kesehatan, atau membuka akses jalan bagi daerah-daerah terisolir. Ironisnya, harapan itu justru dirampas oleh tangan-tangan yang seharusnya melindunginya.
Kehilangan aset negara dari rumah jabatan pejabat publik adalah pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Rumah jabatan, yang mestinya menjadi simbol kehormatan dan tanggung jawab, berubah menjadi saksi bisu dari praktik abai dan penggerogotan kepercayaan publik. Hingga kini, tak jelas siapa penghuni lama yang menyerahkan aset, siapa penghuni baru yang menerima, dan siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kekacauan ini.
Diamnya para pemangku kepentingan memperpanjang deret tanda tanya. DPRD Kabupaten TTS, Pemerintah Daerah, Sekretaris DPRD, hingga Badan Inspektorat memilih bersembunyi dalam kesenyapan. Padahal, tanggung jawab moral dan hukum mengharuskan mereka bersuara dan bertindak tegas. Apakah aparat penegak hukum harus bergerak sendiri dalam mengungkap kasus ini? Jawabannya tegas: ya. Jika tidak, kita tengah memberi karpet merah bagi budaya impunitas.
Ketidakjelasan penyelesaian kasus ini memberi pesan berbahaya: bahwa praktik korupsi dan kecurangan dapat terjadi tanpa konsekuensi. Jika hilangnya aset negara di rumah jabatan pejabat dibiarkan tanpa pengusutan, maka perlahan tapi pasti, kita sedang membangun fondasi kebal hukum di tubuh Pemerintah Daerah TTS. Ini bukan lagi soal kelalaian administrasi, melainkan pelecehan terhadap prinsip dasar negara hukum dan demokrasi.
Rakyat TTS, yang hidup dalam ketidakcukupan, berhak atas penjelasan dan keadilan. Mereka berhak memastikan bahwa uang yang mereka percayakan dikelola dengan penuh tanggung jawab, bukan digelapkan dalam lorong gelap kekuasaan.
Oleh karena itu, desakan publik harus diperkuat. Inspektorat, DPRD, Pemerintah Daerah, dan aparat penegak hukum wajib membuka fakta secara transparan, menyeret para pihak yang terlibat ke hadapan hukum, serta mengembalikan aset negara ke pangkuan rakyat. Pejabat yang tidak mampu menjaga aset negara, sesungguhnya tidak layak dipercaya untuk menjaga kepentingan rakyatnya.
Masa depan demokrasi dan keadilan di Timor Tengah Selatan bergantung pada keberanian menuntaskan persoalan ini. Diam adalah pengkhianatan. Bertindak adalah kehormatan.