More results...

Generic selectors
Cari yang sama persis
Cari berdasarkan judul
Cari berdasarkan konten
Post Type Selectors
Filter by Categories
Bantul
Batam
Berita Kriminal
Blitar
Catatan Muslim
Daerah
Edukasi
Garut
Gunung Kidul
Halmahera Selatan
Halmahera Tengah
Hiburan
Iklan
Internasional
Investigasi
Jakarta
Jayapura
Kabupaten Bengkalis
Kabupaten Buru
Kabupaten Indragiri Hilir
Kabupaten Indragiri Hulu
Kabupaten Kampar
Kabupaten Kepahiang
Kabupaten Kuantan Singingi
Kabupaten Pelalawan
Kabupaten Rejang Lebong
Kabupaten Rokan hilir
Kabupaten Rokan Hulu
Kabupaten Siak
Karimun
Kesehatan
Kota Dumai
Kota Magelang
Kota Manado
Kota Semarang
Labuhan Batu
Maluku Tenggara
Merangin
Narasi dan Opini
Papua
Pekanbaru
Provinsi BALI
Provinsi Banten
Provinsi Bengkulu
Provinsi DIY
Provinsi Jambi
Provinsi Jawa Barat
Provinsi Jawa Tengah
Provinsi Jawa Timur
Provinsi Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan Tengah
Provinsi Kepri
Provinsi Lampung
Provinsi Maluku
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Provinsi Riau
Provinsi Sulawesi Barat
Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Tenggara
Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Sumatera barat
Provinsi Sumatera Selatan
Provinsi Sumatra Utara
Provisi Maluku Utara
Sejarah
Sleman
Tanggamus
Ternate
Tidore
Timor Tengah Selatan
Trenggalek
Video
Way Kanan
Yogyakarta
Yogyakarta

Siapa di Balik Siapa : Peta Diam-Diam Perang Iran-Israel Dan Dampaknya Ke Dunia

Konflik antara Iran dan Israel bukan sekadar perseteruan dua negara Timur Tengah. Ini adalah simpul dari sejarah, politik identitas, dan kepentingan global yang terus berulang dalam berbagai wajah. Meskipun populasi gabungan keduanya hanya mencakup kurang dari satu persen dunia, dampaknya bisa menjalar ke lebih dari setengah planet ini—secara ekonomi, diplomatik, bahkan sosial. Pertanyaan yang harus diajukan sekarang bukan hanya tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, tapi siapa yang berdiri di belakang masing-masing pihak dan apa taruhannya bagi dunia.

Di balik layar, Iran telah membangun jaringan aliansi yang tak konvensional yang tersebar dari Damaskus hingga Sana’a. Rusia dan Cina mendekati Iran bukan sekadar karena simpati ideologis, tapi karena kepentingan strategis terhadap jalur energi dan penyeimbang kekuatan Barat. Suriah dan Hizbullah di Lebanon menjadi perpanjangan tangan yang memungkinkan Iran memainkan politik pengaruh di kawasan. Bahkan di Irak dan Yaman, fraksi-fraksi yang condong ke Teheran menjadi instrumen proxy yang bisa digerakkan dengan cepat dan murah. Seperti dikatakan oleh Dr. Vali Nasr, pakar politik Timur Tengah dari Johns Hopkins University, “Iran tidak melawan dalam satu garis depan, tetapi dalam jaring laba-laba.”

Sebaliknya, Israel didukung oleh kekuatan formal dan sistemik dunia Barat. Amerika Serikat adalah pendukung paling kuat, tidak hanya dari sisi dana pertahanan tapi juga intelijen dan perlindungan diplomatik di forum internasional. Inggris, Prancis, Jerman, dan negara-negara sekutu NATO lainnya memperkuat posisi ini melalui bantuan militer terbuka maupun dukungan logistik. Jepang dan Korea Selatan, meski tidak aktif secara militer, menegaskan keselarasan mereka dalam narasi strategis global yang dikawal Washington. “Aliansi ini bukan sekadar tentang Israel, tetapi tentang menjaga peta dominasi dunia pasca-Perang Dunia II,” ungkap Prof. Michael Oren, mantan duta besar Israel untuk AS.

Namun, kekuatan militer bukan satu-satunya faktor yang menentukan. Iran dan sekutunya bermain dalam dimensi yang lebih gelap—perang asimetris, serangan siber, dan infiltrasi melalui kelompok non-negara. Hal ini membuat prediksi menjadi rumit. Blok Barat unggul dalam kecepatan dan teknologi, tetapi blok pro-Iran unggul dalam ketidakpastian dan daya rusak bawah tanah. Konflik ini bukan soal menang cepat, melainkan soal siapa yang bisa bertahan di tengah kekacauan dan menjaga pengaruh jangka panjang.

Apa yang sering luput dari perhatian publik adalah dampak tidak langsung dari konflik ini terhadap dunia luas, termasuk Indonesia. Setiap kali ketegangan meningkat di Selat Hormuz atau Gaza, harga minyak melonjak, pasar saham bergejolak, dan rantai pasok global terganggu. Kenaikan harga BBM di pom bensin atau inflasi bahan pokok adalah efek yang bisa langsung dirasakan rakyat biasa. Ini adalah wajah manusia dari konflik yang tampak jauh: ketika satu peluru ditembakkan di Tel Aviv atau Teheran, gema ekonominya sampai ke meja makan di rumah kita.

Konflik ini juga menguji sistem moral dan kemanusiaan global. Ketika ribuan warga sipil menjadi korban di kedua belah pihak, dunia terpecah antara yang bersuara keras dan yang memilih diam. Seperti dikatakan oleh Prof. Arundhati Roy, “Perang selalu dimenangkan oleh mereka yang paling sedikit kehilangan, dan selalu kalah bagi yang tidak pernah berperang.” Di sinilah kita diingatkan bahwa politik kekuasaan kerap mengorbankan yang paling rentan: anak-anak, perempuan, dan warga sipil tak bersenjata.

Sementara itu, media sosial mempercepat polarisasi. Narasi “kami vs mereka” semakin diperkuat algoritma, bukan akal sehat. Ketimbang mendorong pemahaman, banyak yang malah saling membenarkan dendam. Padahal, dunia tidak sedang kekurangan informasi—yang langka adalah empati dan kemampuan untuk memproses informasi dengan kepala dingin dan hati terbuka. Seorang wartawan veteran BBC, Jeremy Bowen, menulis bahwa “di setiap konflik Timur Tengah, yang paling jarang terdengar adalah suara warga biasa yang hanya ingin hidup normal.”

Dunia saat ini sedang berdiri di ambang jurang ketidakpastian. Jika konflik ini benar-benar meledak menjadi perang terbuka antara blok kekuatan besar, maka kita sedang menyaksikan cikal bakal Perang Dunia versi modern—bukan dengan tank dan bom saja, tapi juga dengan data, mata uang, dan propaganda. Dalam kondisi seperti ini, netralitas menjadi tantangan tersendiri, termasuk bagi Indonesia yang menjunjung tinggi prinsip politik bebas aktif.

Akhirnya, analisis ini bukan ajakan untuk memilih sisi, tapi ajakan untuk memahami medan. Karena seperti kata sejarawan Yuval Noah Harari, “Siapa pun yang tidak memahami sejarah dan geopolitik, akan selalu menjadi korban dari keduanya.” Dunia tidak sedang mencari penonton, tetapi manusia yang sadar dan peduli. Dan dari kesadaran itu, mungkin bisa lahir keberanian untuk meredakan, bukan membakar.

Kamis, 19 Juni 2025
Penulis : Ahmad Marzuki. S. Ag. MM. (Pengasuh Pondok Pesantren Thariqul Mahfudz Sumbersari, Melaya, Jembrana, Bali)

 

Klik tombol tindakan dibawah sesuai pilihanmu untuk membagikan informasi ini!