Kita hidup di dunia yang katanya semakin beradab, lebih cerdas, dan terhubung. Namun di balik layar diplomasi dan teknologi yang kian canggih, dunia diam-diam masih menyimpan luka lama: senjata nuklir. Tahun 2025 mencatat sembilan negara yang masih mengandalkan senjata pemusnah massal ini sebagai alat jaga gengsi dan dominasi. Sembilan negara dengan tombol kiamat yang cukup untuk memusnahkan peradaban beberapa kali lipat.
Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Rusia dan Amerika Serikat tetap menjadi pemegang utama senjata nuklir global, masing-masing dengan lebih dari 5.000 hulu ledak. Meskipun jumlah ini menurun dibanding era Perang Dingin, tren ini justru menunjukkan hal yang mengkhawatirkan: senjata-senjata ini bukan disimpan untuk dilupakan, tetapi dimodernisasi untuk digunakan dengan lebih efisien. “Kedua negara masih memelihara doktrin yang memungkinkan penggunaan nuklir dalam situasi yang ambigu,” kata Dan Smith, Direktur SIPRI. “Ini membuka celah bencana yang bisa terjadi karena kesalahan perhitungan.”
China, yang sebelumnya hanya penonton dalam lanskap nuklir, kini tampil sebagai pemain utama. Dalam satu dekade terakhir, jumlah arsenalnya melonjak signifikan. Per 2025, China diperkirakan memiliki lebih dari 500 hulu ledak aktif, dengan sistem peluncur yang semakin canggih dan tersebar. Ini menandai pergeseran kekuatan, tidak hanya di Asia, tetapi juga dalam konstelasi global. Hans Kristensen dari Federation of American Scientists (FAS) menegaskan, “Ekspansi nuklir China adalah yang tercepat saat ini. Mereka sedang membangun sistem silo bawah tanah dalam jumlah yang sangat besar.”
Asia Selatan tetap menjadi wilayah yang paling rapuh secara nuklir. India dan Pakistan, dua negara bertetangga dengan sejarah konflik panjang dan hubungan diplomatik beku, kini masing-masing memiliki sekitar 170 hulu ledak. Bayangkan dua negara dengan populasi lebih dari satu miliar jiwa, hidup berdampingan dalam ancaman senjata pemusnah massal. Satu kesalahan bisa mengubah perselisihan kecil menjadi bencana besar.
Sementara itu, Korea Utara terus memainkan peran ganda: musuh sekaligus teka-teki. Dengan sekitar 30–50 hulu ledak, Pyongyang menjaga posisinya dalam negosiasi global. Di sisi lain, Israel masih memilih strategi diam. Tidak mengaku memiliki senjata nuklir, tetapi secara global diperkirakan memiliki sekitar 90 hulu ledak. Ini bukan sekadar politik senjata, melainkan simbol keseimbangan di Timur Tengah yang sangat rapuh.
Di Eropa, Inggris dan Prancis tetap mempertahankan persenjataan nuklir mereka sebagai bagian dari “kemerdekaan strategis.” Inggris dengan program Trident dan Prancis dengan force de frappe tidak ingin bergantung pada perlindungan NATO saja. Meski jumlahnya tak sebanyak dua raksasa Timur dan Barat, keduanya tetap memainkan peran penting dalam menjaga status quo global.
Yang lebih mengkhawatirkan bukan hanya keberadaan senjata itu, tetapi bagaimana dunia mulai bermain-main dengan otomatisasi dalam sistem peluncur. Beberapa negara mulai mengembangkan sistem peluncuran berbasis kecerdasan buatan. Artinya, dalam skenario terburuk, algoritma bisa membuat keputusan yang seharusnya menjadi hak manusia. Dr. Patricia Lewis dari Chatham House memperingatkan: “Sistem senjata berbasis AI bisa mempercepat eskalasi karena kurangnya pertimbangan manusia. Ini bukan kemajuan, ini ancaman.”
Upaya perlawanan memang masih ada. Beberapa organisasi internasional seperti ICAN (International Campaign to Abolish Nuclear Weapons) dan tokoh-tokoh seperti Noam Chomsky terus mengingatkan bahwa dunia sedang berjalan menuju bencana jika tidak mengendalikan ambisi nuklir. Namun, suara moral sering kalah oleh kepentingan strategis, aliansi pertahanan, dan—lebih penting lagi—politik dalam negeri. “Kita menghadapi jurang eksistensial, dan nuklir bukan perlindungan, tetapi potensi akhir,” tegas Noam Chomsky dalam sebuah wawancara tahun 2024.
Akhirnya, kita dipaksa mengakui bahwa keamanan dunia saat ini tidak dibangun di atas kepercayaan, melainkan atas rasa takut. Sembilan negara menjaga tombol kiamat dengan berbagai alasan: ketahanan, gengsi, perlindungan. Namun sejarah selalu mengajarkan: senjata yang diciptakan untuk tidak digunakan, sering kali digunakan justru karena diciptakan. Dan ketika ketakutan menjadi bahasa bersama, dunia bisa kehilangan arah kompas moralnya.
Oleh : Ahmad Marzuki. S.Ag.MM.
( Pengasuh Pondok Pesantren Thariqul Mahfudz Sumbersari, Melaya, Jembrana, Bali )