SOE-Investigasi86.com-Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, tengah dilanda badai kontroversi. Bukan badai biasa, melainkan skandal rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang diduga sarat dengan aroma kolusi, nepotisme, dan ketidakadilan. Bayangan manipulasi data dalam Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) menghantui proses seleksi, membuka jalan bagi tenaga outsourcing untuk tiba-tiba menjelma menjadi tenaga non-ASN di lingkungan DPRD TTS. Pertanyaannya: siapakah yang diuntungkan, dan siapakah yang menjadi korban?
Aroma kecurigaan semakin menyengat ketika terungkap fakta bahwa beberapa tenaga outsourcing yang kontrak kerjanya baru berakhir 31 Desember 2023, muncul dalam database tenaga non-ASN setelah seleksi PPPK. Mereka, yang seharusnya tidak memenuhi syarat minimal masa kerja dua tahun, mendadak lolos. Apakah ini sebuah kebetulan? Atau ada tangan-tangan jahil yang bermain di balik layar?
Doni Tanoen dari Forum Pemerhati Demokrasi Timor tak segan menyebutnya sebagai potensi pelanggaran berat dan pemalsuan dokumen. Ia membandingkan kasus ini dengan tindakan tegas DPRD terhadap kepala sekolah yang melakukan hal serupa. “Mengapa standar ganda diterapkan? RDP langsung digelar saat kasus terjadi di sekolah, tetapi diam seribu bahasa ketika terjadi di ‘rumah sendiri’?” tanya Doni dengan nada getir. Ancamannya tegas: jika kasus ini dibiarkan, ia akan membawa permasalahan ini ke jalur hukum. Ia menuntut pertanggungjawaban hukum bagi siapapun yang terlibat dalam pembuatan SPTJM yang diduga palsu. Lebih jauh, ia mendesak DPRD TTS untuk memberikan solusi bagi tenaga outsourcing yang mungkin akan dianulir kelulusannya, agar mereka tetap bisa menghidupi keluarga.
Sikap Sekretaris DPRD TTS, Alberth D. I. Boimau, semakin menambah kecurigaan. Keengganan memberikan keterangan resmi, pernyataan yang terkesan menghindar, dan menyebut tudingan manipulasi sebagai “bahasa media,” menunjukkan adanya upaya untuk menutup-nutupi kebenaran. Jawaban singkat “No comment” yang diberikan melalui pesan teks semakin memperkuat kesan tersebut.
Kesaksian Iswandy Godlief Dominggus Lona, mantan tenaga outsourcing, semakin memperkuat dugaan manipulasi. Ia, yang selama tiga tahun bekerja di DPRD TTS, mengetahui dengan pasti siapa saja yang bekerja dan siapa yang tidak. Munculnya nama-nama baru yang “tiba-tiba” menjadi non-ASN, menurutnya, sangat janggal dan menimbulkan pertanyaan besar. Ia juga menyoroti ketidakadilan yang dialami masyarakat TTS lainnya yang kesulitan mendapatkan pekerjaan, sementara hanya segelintir tenaga outsourcing yang mendapat perlakuan istimewa. “Di mana keadilan bagi kami yang juga butuh kerja?” ujarnya dengan nada penuh kepiluan.
Pernyataan Kepala BKPSDMD Kabupaten TTS, Dominggus Banunaek, yang menyatakan pengalihan status tenaga outsourcing menjadi tenaga honorer sejak 2022/2023, tetapi tanpa adanya rekrutmen baru, justru menambah keruwetan kasus ini. Penjelasan ini terasa kurang meyakinkan dan membutuhkan klarifikasi lebih lanjut.
Skandal rekrutmen PPPK di TTS ini bukan sekadar masalah administratif. Ini adalah potret nyata ketidakadilan dan potensi penyalahgunaan wewenang yang harus diusut tuntas. Publik menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pihak terkait, serta keadilan bagi seluruh masyarakat TTS. Keheningan dan upaya pembungkaman hanya akan memperburuk citra pemerintahan dan memicu kemarahan publik yang lebih besar.(TIM)