Soe ,Investigasi86.com– “Sudah 79 tahun Indonesia merdeka, tetapi kami masih hidup dalam gelap.” Seruan itu menggema di halaman Kantor PLN Unit Layanan Pelanggan (ULP) SoE, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, Kamis (8/5/2025). Ratusan warga yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Cabang Posko Pejuangan Rakyat TTS (DPC POSPERA TTS) dan Forum Pemerhati Demokrasi Timor (FPDT) menggelar aksi damai, menuntut percepatan perluasan jaringan listrik ke desa-desa yang hingga kini belum teraliri listrik.
Aksi diawali dengan long march dari sekretariat DPC POSPERA TTS. Massa berjalan kaki menyusuri Jalan Timor Raya sambil menyanyikan lagu “Darah Juang”. Poster dan spanduk berisi tuntutan dibentangkan, sementara yel-yel “Hidup rakyat!” terdengar bergema.
Sesampainya di kantor PLN SoE, satu per satu orator naik ke atas mobil komando. Dengan suara lantang, mereka menyampaikan kekecewaan terhadap lambannya realisasi program listrik desa.
“Di Desa Naukae, Kecamatan Kuatnana, anak-anak kami belajar di bawah pelita. Mereka sulit mengakses internet, padahal dunia sudah bergerak ke arah digital. Bagaimana mungkin mereka bisa bersaing jika listrik saja belum ada?” kata salah satu orator.
Selain berdampak pada pendidikan, ketiadaan listrik juga dinilai turut memperburuk masalah sosial. “Tanpa listrik, informasi susah diakses, ekonomi jalan di tempat, bahkan kasus perdagangan manusia makin marak karena gelapnya desa kami,” ujar orator lain.
Dalam aksinya, massa juga menyinggung penyertaan modal Rp3 triliun yang diberikan pemerintah pusat kepada PLN. Mereka menuntut transparansi penggunaan anggaran tersebut. Jika hingga akhir 2025 listrik belum juga masuk desa, warga berencana menempuh jalur hukum.
“Kami sudah delapan kali turun aksi. Enam kali di Kupang, dua kali di SoE. Kalau sampai akhir tahun ini masih gelap, kami gugat PLN,” tegas salah satu koordinator aksi.
Aksi berlangsung tertib. Perwakilan massa kemudian menyerahkan surat tuntutan kepada pihak PLN SoE.
Respons PLN Manager PLN ULP SoE, I Made Dedik, menemui massa dan menyampaikan apresiasi atas kepedulian warga. Ia mengaku memahami dan turut prihatin atas kondisi masyarakat yang belum menikmati layanan listrik.
“Saya membayangkan bagaimana rasanya hidup tanpa listrik. Saya benar-benar merasakan kesulitan itu. Semua usulan masyarakat kami terima dengan baik,” ujar I Made.
Ia menjelaskan, proses perluasan jaringan listrik melibatkan banyak unit, mulai dari Unit Pelaksana Proyek Ketenagalistrikan (UP2K), Kantor Induk PLN di Kupang, hingga Kantor Pusat PLN di Jakarta. Setiap pengajuan memerlukan survei, evaluasi teknis, dan persetujuan anggaran.
“Untuk tahun 2024, tidak ada alokasi anggaran listrik desa (lisdes) untuk wilayah TTS. Hingga Maret 2025, belum ada pencairan anggaran baru. Beberapa usulan sudah diajukan sejak 3-4 tahun lalu, bahkan ada yang diajukan delapan kali, tetapi kami masih menunggu kepastian anggaran,” jelasnya.
Di akhir pernyataannya, I Made menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat atas keterlambatan realisasi perluasan jaringan listrik. Ia membuka ruang dialog dan berkomitmen memperjuangkan aspirasi warga.
“Atas nama PLN SoE dan seluruh jajaran, kami memohon maaf sebesar-besarnya. Kami berkomitmen terus memperjuangkan perluasan jaringan listrik ke seluruh desa di TTS. Kami siap berdialog dan menerima aspirasi lebih lanjut,” kata I Made.
Pesan Harapan Aksi damai itu berakhir tanpa insiden. Namun, pesan warga TTS jelas: listrik bukan hanya sekadar fasilitas, tetapi jembatan menuju masa depan yang lebih baik.
“Jangan sampai Indonesia 80 tahun merdeka, kami masih gelap. Kami tidak minta mewah, kami hanya minta hak dasar kami: listrik untuk semua,” kata salah satu peserta aksi.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada kepastian anggaran listrik desa untuk wilayah TTS. Masyarakat berharap aspirasi mereka tak berhenti di meja birokrasi, tetapi segera diwujudkan agar gelap malam mereka berubah menjadi terang.