Niki-Niki, TTS,INVESTUGASI86.COM —Kisruh penyaluran dana Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) kembali mencuat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur. Puluhan warga Desa Neke, Kecamatan Oenino, pada Selasa (14/10/2025) mendatangi Bank NTT Unit Niki-Niki dengan amarah bercampur harap. Mereka ingin memastikan: apakah buku rekening dan uang upah tukang yang dijanjikan sejak tahun 2023 benar-benar ada di bank itu atau hanya janji semu.
Sejak pagi, halaman Bank NTT Unit Niki-Niki tampak dipenuhi warga, sebagian besar penerima bantuan BSPS. Dengan wajah tegang dan menggenggam map berisi dokumen, mereka menanti jawaban atas pertanyaan yang sama selama dua tahun terakhir: “Uang kami ada di mana?”
> “Kami sudah urus buku rekening sejak tahun 2023, tapi sampai sekarang belum pernah kami pegang. Kami dengar uang upah tukang sudah masuk, tapi tidak tahu ke mana. Makanya kami datang ke bank ini, mau pastikan kebenarannya,” tutur seorang ibu penerima bantuan dengan nada getir.
> “Tukang sudah desak kami terus. Mereka minta upah, tapi kami tidak bisa bayar karena uangnya tidak pernah kami lihat. Kami ini sudah jadi bulan-bulanan di kampung,” ujarnya.
Program BSPS, yang digagas oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), seharusnya menjadi solusi bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah layak huni. Melalui program ini, warga menerima dana stimulan senilai Rp 20 juta yang dibagi menjadi Rp 17,5 juta untuk bahan bangunan dan Rp 2,5 juta untuk upah tukang.
Namun, di Desa Neke, janji itu berubah menjadi ketidakpastian panjang. Sejak 2023, warga telah diminta membuka rekening di Bank NTT sebagai syarat pencairan bantuan. Anehnya, buku rekening yang menjadi bukti kepemilikan dana tak pernah sampai ke tangan mereka.
> “Kami tanya ke pendamping, katanya nanti diserahkan kalau sudah proses. Tapi sudah dua tahun, buku rekening tak pernah datang. Sekarang kami bingung, apakah uang itu masih di bank atau sudah cair entah ke mana,” ujar salah satu penerima bantuan, menahan emosi.
Kedatangan puluhan warga ke Bank NTT Unit Niki-Niki bukan tanpa alasan. Mereka ingin bertemu langsung dengan pihak bank untuk meminta penjelasan. Namun, bukannya mendapatkan kejelasan, warga justru dihadapkan pada sikap tertutup.
Ketika awak media mencoba mengonfirmasi, wakil kepala Bank NTT Unit Niki-Niki menolak memberikan keterangan terbuka.
> “Itu dokumen milik nasabah. Tidak boleh diketahui siapapun, termasuk media. Bahkan kalau pemilik nomor rekening tidak datang langsung, kami tidak bisa sampaikan apa pun,” katanya singkat di ruang kerjanya.
Pernyataan tersebut sontak menimbulkan tanda tanya besar. Sebab, warga yang datang ke bank adalah pemilik rekening yang sah. Mereka datang dengan identitas lengkap, namun tetap tidak diberi akses atau kejelasan.
> “Kami sendiri yang datang, kami nasabahnya, kami punya nomor rekening. Tapi tetap tidak dikasih tahu. Ini pelayanan macam apa?” keluh seorang bapak dengan nada tinggi.
Sikap tertutup Bank NTT Unit Niki-Niki membuat warga mempertanyakan komitmen bank daerah itu sebagai lembaga keuangan milik masyarakat NTT. Dalam situasi ini, kepercayaan publik mulai terkikis.
> “Bank NTT ini kan katanya bank rakyat NTT. Tapi kalau rakyat datang mau tahu uangnya sendiri malah tidak dijelaskan, apa bedanya dengan menutup-nutupi?” sindir seorang warga.
Sejumlah tokoh masyarakat bahkan menilai pelayanan bank di tingkat unit sering kali tidak transparan dan membingungkan warga, terutama dalam penyaluran bantuan pemerintah.
> “Program pemerintah itu tujuannya membantu masyarakat kecil, tapi kalau pelaksanaannya seperti ini, rakyat yang jadi korban. Bank NTT dan Dinas PRKP NTT harus bertanggung jawab,” ujar salah satu tokoh masyarakat Desa Neke yang turut hadir.
Warga juga melayangkan tuntutan keras kepada Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) Provinsi NTT agar tidak menutup mata terhadap persoalan ini. Mereka menilai lembaga tersebut lalai dalam pengawasan dan koordinasi dengan pihak bank serta pendamping program.
> “Kami minta Dinas PRKP NTT segera turun tangan. Jangan diam saja di Kupang. Kami di lapangan yang rasakan penderitaan. Tukang terus minta upah, kami disalahkan,” tegas warga dengan nada tinggi.
Nama Pak Oni Koby, yang disebut sebagai pendamping BSPS di wilayah tersebut, juga ikut menjadi sorotan. Warga menuding sang pendamping tidak proaktif dalam menyelesaikan masalah yang sudah berlarut-larut ini.
> “Pendamping Pak Koby jangan hanya diam. Kalau tidak bisa atasi, lapor ke provinsi. Kami capek dijanjikan terus,” ujar salah satu warga dengan nada kesal.
Ironisnya, program yang sejatinya membawa harapan untuk rumah layak huni kini berubah menjadi sumber keresahan sosial. Banyak warga merasa bahwa mereka justru terjerat utang kepada tukang, karena harus menanggung biaya kerja yang belum dibayar akibat dana BSPS yang tak kunjung cair.
> “Kami sudah jual ternak, pinjam uang ke keluarga supaya bangun rumah tidak berhenti. Tapi sampai sekarang, upah tukang belum dibayar karena uang tidak ada. Pemerintah tolong lihat kami,” ujar seorang ibu sambil menitikkan air mata.
Kini, warga Desa Neke hanya bisa berharap agar Gubernur NTT dan Dinas PRKP Provinsi NTT segera turun tangan memeriksa proses penyaluran dana BSPS di lapangan, termasuk keterlibatan pihak bank dan pendamping.
> “Kami tidak butuh alasan. Kami butuh kepastian,” ujar warga tegas sebelum meninggalkan halaman Bank NTT sore itu.
Kisah warga Neke menjadi potret kecil dari persoalan besar yang masih menghantui berbagai daerah di NTT: birokrasi berbelit, kurangnya transparansi, dan lemahnya pengawasan dalam program bantuan rakyat.
BSPS yang seharusnya menjadi solusi, kini berubah menjadi sumber kekecewaan. Warga berharap suara mereka tidak lagi diabaikan, dan uang tukang yang menjadi hak pekerja bisa segera dibayarkan tanpa alasan yang bertele-tele.
> “Kalau Bank NTT dan Dinas PRKP diam saja, ini bisa jadi bom waktu. Karena rakyat sudah muak dengan janji tanpa bukti,” pungkas seorang warga dengan nada tegas.