Kecelakaan laut kembali terjadi di Selat Bali. Kali ini, KMP Tunu Pratama Jaya menjadi korban. Kapal yang mengangkut penumpang dan kendaraan dari Ketapang menuju Gilimanuk itu tenggelam setelah diduga mengalami kebocoran di ruang mesin. Dalam situasi darurat, kapal kehilangan daya, miring, dan akhirnya karam. Meskipun sejumlah penumpang berhasil dievakuasi, kejadian ini memperpanjang daftar kecelakaan laut di wilayah penghubung vital antara Jawa dan Bali tersebut.
Peristiwa tenggelamnya kapal bukanlah semata kesialan atau semata bencana alam. Banyak yang percaya ini adalah akibat akumulasi dari sistem pengawasan yang lemah, standar keselamatan yang longgar, dan budaya kerja yang abai terhadap protokol. Dr. Arif Hidayat, ahli transportasi laut dari ITS, mengkritik bahwa sebagian besar armada kapal penyeberangan di Indonesia masih beroperasi dalam kondisi nyaris tidak layak, namun tetap lolos inspeksi. “Sistem audit teknis kita belum berbasis risiko, dan hanya mengandalkan checklist administratif,” ujarnya dalam seminar maritim 2024 lalu.
Selat Bali dikenal sebagai jalur laut tersibuk kedua di Indonesia bagian timur. Namun, lalu lintas padat itu belum dibarengi dengan peningkatan kualitas manajemen keselamatan. Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Institute (IMI), Mohamad Zaini, menyoroti lemahnya fungsi evaluasi menyeluruh pada kapal-kapal roro yang sering mengangkut kendaraan berat. “Kita tidak bisa hanya berharap pada nasib baik. Perlu ada sistem digitalisasi logistik dan kontrol muatan yang transparan dan real time,” jelasnya.
Salah satu titik kritis dalam setiap kecelakaan laut adalah manajemen darurat. Sayangnya, pelatihan evakuasi dan prosedur penyelamatan nyaris tidak dilaksanakan secara rutin di kapal-kapal umum. Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, menambahkan bahwa kesadaran keselamatan belum menjadi budaya. “Kita sering temukan jaket pelampung tak layak, pintu darurat tertutup barang, dan awak kapal tak sigap dalam situasi darurat,” katanya.
Ini bukan sekadar insiden teknis—ini adalah cermin dari ketidakseriusan dalam mengelola keselamatan. Sementara itu, masyarakat yang menjadi korban, termasuk para sopir dan keluarga mereka, hanya bisa pasrah. Tak ada transparansi investigasi, tak ada jaminan bahwa kejadian serupa tak akan terulang. Padahal, UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran sudah mewajibkan standar keselamatan tinggi dan audit berkala terhadap kapal.
Tragedi demi tragedi seakan terus terulang, tanpa menjadi pelajaran berarti. Kita butuh lebih dari sekadar belasungkawa. Diperlukan reformasi regulasi maritim dan penegakan hukum yang tegas. Jika tidak, maka insiden seperti tenggelamnya Tunu Pratama Jaya hanya akan menjadi rutinitas tragis yang berulang.
Sudah saatnya pemerintah mengalihkan fokus dari hanya membangun infrastruktur pelabuhan ke reformasi mental dan teknis pelayaran. Semua kapal harus diaudit ulang dengan ketat, dan pelatihan keselamatan harus diwajibkan dengan evaluasi berkala. “Keselamatan pelayaran adalah tanggung jawab bersama yang harus dijaga, bukan hanya slogan dalam brosur kementerian,” tegas Ridwan Djamaluddin, mantan Dirjen Perhubungan Laut.
Kita percaya, laut bukan tempat kematian, tetapi jalur penghubung kehidupan. Dan setiap nyawa yang hilang di laut, adalah alarm keras bahwa kita telah gagal melindunginya. Semoga tragedi ini menjadi yang terakhir, bukan sekadar satu berita lagi yang hilang ditelan ombak.
Oleh : Ahmad Marzuki,
Penulis independen dan pemerhati isu-isu publik.