Yogyakarta _ DIY
Para penambang pasir yang tergabung dalam Perkumpulan Penambang Progo Sejahtera menggelar aksi damai di Kantor Gubernur DIY, Rabu (25/06/2026).
Mereka datang lengkap dengan pertunjukan Reog Wayang dari Paguyuban Seni Tari ‘Putra Mahesa’ untuk “menunjukkan bahwa kami penambang tapi juga penjaga budaya,” ujar Ketua Agung Mulyono.
Kami komit menambang secara legal, tidak merusak lingkungan serunya, diiringi sorak dukungan ratusan penambang dan menjadi permasalahan utama ialah terkatung-katungnya perizinan alat pompa mekanik.
Ditambahkan oleh Agung bahwa yang sebelumnya pompa boleh dipakai tetapi ada aturan baru bahwa sekarang tiba-tiba dilarang,” keluhnya ,Ia menegaskan sudah tiga—empat bulan kami mengurus izin tetapi jawabannya selalu ‘masih proses’.

Penjabat Sekda DIY Aria Nugrahadi yang menemui massa hanya menegaskan, “Regulasi harus ditaati, tapi kami akan memfasilitasi peninjauan lapangan besok.”
Respons itu dinilai “belum pasti” oleh Agung: “Kami butuh tanggal, bukan janji.”
Kebingungan makin besar setelah Izin Pertambangan Rakyat (IPR) tak lagi bisa diajukan atas nama kelompok.
“Dulu satu kelompok cukup satu IPR, sekarang tiap orang harus urus sendiri, biayanya berat,” ujar Widi Santosa, penambang asal Lendah yang juga mempertanyakan “perlakuan timpang” terhadap perusahaan besar.
“PT dan CV tetap pakai alat berat, kenapa kami yang lokal justru dibatasi?” tanyanya sembari mengangkat spanduk ‘Rakyat Juga Berhak Menambang!’.
Agung juga menyampaikan tepisan Isu kerusakan lingkungan bahwa rumah saya persis di tepi Sungai Progo, tak pernah longsor,Kami pakai pompa kecil, kedalaman cuma 5–6 meter, kalau kena batu ya berhenti. Dibilang merusak, buktinya eceng gondok tetap tumbuh.
Agung menambahkan, “Lingkungan itu tempat kami tinggal; merusak berarti bunuh diri sebagai bukti bahwa tumbuhan Enceng gondok masih bisa hidup itu artinya kami tetep menjaga ekosistem lingkungan kami”imbuhnya
Dampak ekonomi terasa pedih. “Ada 28 titik tambang yang bisa di nyatakan sudah mati suri karena kami tidak bisa berbuat apa-apa.Berapa jiwa yang selama ini menggantungkan hidupnya dengan mencari rejeki di sungai Progo, kalau satu titik berkisar antara 30-40 orang yang menghidupi keluarga masing-masing maka bisa dibayangkan berapa perut yang kosong,” kata Agung sambil terlihat matanya berkaca-kaca
Bahkan ia sendiri menyebut di kelompoknya ada 75 anggota dan menanggung 300 jiwa.” Selama moratorium, sebagian hanya muat pasir di depo, kadang bisa muat 1 rit dengan ongkos muat 100 Rb dan harus dibagi kepada 4 orang, jadi kadang hanya mendapatkan 25 ribu per orang bahkan malah kadang nol pendapatan.
Umar, Selaku koordinator aksi dalam orasinya sebelum menutup aksi dengan seruan:
“Besok (26/06/2025) pemerintah mau survei lokasi” kita berharap itu bukan sekadar formalitas, karena kami butuh kepastian kerja untuk hidup dan mendesak perizinan dipercepat, pompa diizinkan kembali. (Ant)