More results...

Generic selectors
Cari yang sama persis
Cari berdasarkan judul
Cari berdasarkan konten
Post Type Selectors
Filter by Categories
Bantul
Batam
Bengkulu Utara
Berita Kriminal
Blitar
Catatan Muslim
Daerah
Edukasi
Garut
Gunung Kidul
Halmahera Selatan
Halmahera Tengah
Hiburan
Iklan
Internasional
Investigasi
Jakarta
Jayapura
Kabupaten Bengkalis
Kabupaten Buru
Kabupaten Indragiri Hilir
Kabupaten Indragiri Hulu
Kabupaten Kampar
Kabupaten Kepahiang
Kabupaten Kuantan Singingi
Kabupaten Pelalawan
Kabupaten Rejang Lebong
Kabupaten Rokan hilir
Kabupaten Rokan Hulu
Kabupaten Siak
Karimun
Kesehatan
Kota Dumai
Kota Magelang
Kota Manado
Kota Semarang
Labuhan Batu
Maluku Tenggara
Merangin
Narasi dan Opini
Papua
Pekanbaru
Provinsi BALI
Provinsi Banten
Provinsi Bengkulu
Provinsi DIY
Provinsi Jambi
Provinsi Jawa Barat
Provinsi Jawa Tengah
Provinsi Jawa Timur
Provinsi Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan Tengah
Provinsi Kepri
Provinsi Lampung
Provinsi Maluku
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Provinsi Riau
Provinsi Sulawesi Barat
Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Tenggara
Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Sumatera barat
Provinsi Sumatera Selatan
Provinsi Sumatra Utara
Provisi Maluku Utara
Sejarah
Sleman
Tanggamus
Ternate
Tidore
Tidore Kepulauan
Timor Tengah Selatan
Trenggalek
Video
Way Kanan
Yogyakarta
Yogyakarta

Siswa Terhenti Ujian Hanya Karena Tunggakan Komite Rp105 Ribu

Amanuban Selatan, INVESTIGASI86.COM– Pendidikan seharusnya menjadi hak setiap anak bangsa tanpa terkecuali. Namun realita di lapangan sering berkata lain. Seorang siswa SMP Negeri Amanuban Selatan, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), harus menelan pil pahit: tidak bisa mengikuti ujian kenaikan kelas hanya karena belum melunasi iuran komite sekolah sebesar Rp105.000.

Siswa tersebut bernama Beni Missa, pelajar kelas II SMPN Amanuban Selatan. Kejadian terjadi pada Juni 2025 lalu. Beni sempat mengikuti ujian selama dua hari, namun pada hari ketiga wali kelas memintanya pulang dan menegaskan hanya bisa melanjutkan ujian jika tunggakan iuran komite dilunasi.

Berdasarkan keterangan keluarga, Beni pulang ke rumah dengan wajah murung setelah diminta keluar dari ruang ujian. Kepada orang tuanya, ia menceritakan bahwa wali kelas menolak kehadirannya sebelum ada bukti pembayaran iuran komite.

Orang tuanya, yang tengah berada dalam kesulitan ekonomi, meminta pengertian dari pihak sekolah. Mereka bahkan menitipkan pesan kepada Beni agar menyampaikan kepada wali kelas: uang pasti akan dilunasi, hanya saja mereka butuh waktu. Namun, permohonan sederhana itu tak mendapat tanggapan.

Akhirnya, Beni benar-benar tidak diizinkan melanjutkan ujian. Ironisnya, ketika orang tua akhirnya berhasil mengumpulkan uang, ujian sudah selesai. Sejak itu, Beni tak lagi masuk sekolah. Rasa malu dan minder menutup langkah kakinya ke gerbang sekolah, meski di dalam hatinya ia masih merindukan suasana belajar bersama teman-temannya.

Peristiwa ini kemudian sampai ke telinga Yulens Nubatonis, mantan Ketua Komite SMPN Amanuban Selatan. Meski sudah tidak menjabat, ia tetap menerima keluhan orang tua Beni karena mereka mengira Yulens masih aktif sebagai pengurus komite.

Kepada media ini, Yulens menyampaikan keprihatinannya yang mendalam.
“Sebagai mantan komite, saya tidak rela anak-anak dikorbankan masa belajarnya hanya karena iuran. Pemerintah sudah jelas menekankan wajib belajar 9 tahun. Ini adalah hak dasar, bukan pilihan,” ungkap Yulens, Kamis (18/9/2025).

Ia menegaskan, sekolah seharusnya mengedepankan pendekatan kemanusiaan dan mencari solusi bersama orang tua, bukan malah memutus hak belajar anak.

Respons Pihak Sekolah

Dikonfirmasi terpisah, wali kelas II yang disebut bernama Ibu Nope enggan memberi komentar panjang. Melalui pesan WhatsApp, ia hanya menuliskan,
“Saya tidak mau untuk pak tayang ini berita, pak. Kalau mau konfirmasi boleh, tapi untuk tayang saya tidak mau, pak. Maaf, terima kasih.”

Sementara itu, Kepala Sekolah SMPN Amanuban Selatan, Aleksander Tlonaem, mengaku belum menerima laporan resmi terkait kasus ini.
“Saya setiap kali rapat ujian kenaikan kelas selalu mengingatkan agar tidak boleh ada kasus seperti itu. Besok setelah saya kembali dari Soe, saya akan panggil wali kelas untuk memastikan kebenarannya,” kata Aleksander ketika dikonfirmasi melalui telepon, Kamis (18/9/2025) malam.

Kisah Beni bukan sekadar cerita tentang tunggakan Rp105 ribu. Ini adalah potret nyata bagaimana sistem pendidikan masih sering tersandung praktik iuran yang memberatkan keluarga kurang mampu. Padahal, konstitusi dan peraturan pemerintah menegaskan bahwa pendidikan dasar hingga menengah pertama adalah hak semua anak tanpa diskriminasi.

“Jangan sampai karena uang seratus ribu, masa depan anak terenggut. Pendidikan adalah investasi bangsa, bukan barang dagangan,” tegas Yulens Nubatonis.

Beni Missa kini berada di persimpangan: antara semangat untuk kembali ke sekolah dan rasa minder akibat perlakuan yang ia terima. Namun satu hal yang pasti, kasus ini menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan di TTS: jangan biarkan uang menjadi penghalang bagi anak-anak untuk meraih cita-cita.

Pendidikan adalah jembatan menuju masa depan. Membiarkan anak kehilangan kesempatan belajar hanya karena iuran, sama saja dengan memutus jembatan itu.

Klik tombol tindakan dibawah sesuai pilihanmu untuk membagikan informasi ini!