TTS _ NTT
Proses Konsultasi Publik II Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang digelar pada 6 November 2025 dinilai cacat secara partisipatif.
Komunitas Rimbun Pah Feto (Rimpaf TTS) menyampaikan keprihatinan dan kekecewaannya karena kegiatan tersebut tidak menghadirkan komunitas perempuan dan anak, masyarakat adat yang selama ini terdampak langsung, serta organisasi mahasiswa dan masyarakat sipil yang selama ini aktif mengawal kebijakan pembangunan di TTS.
“Tidak ada undangan, tidak ada ruang bagi suara perempuan, anak, dan komunitas adat. Padahal yang sedang dibicarakan adalah ruang hidup mereka. Ruang hidup tersebut adalah tempat mereka menanam, membesarkan anak, dan menjaga sumber kehidupan,” tegas Meti Wasti Tasoin, Koordinator Divisi Pemberdayaan Rimpaf TTS.
Draf RTRW Tidak Terbuka untuk Publik
Selain minim partisipasi, Meti juga mengkritik tidak terbukanya dokumen draf revisi RTRW kepada masyarakat. Hingga kini, publik tidak dapat mengakses atau menelaah isi dokumen tersebut, baik secara daring maupun cetak.
Kondisi ini, menurut Meti, berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan dan anak, masyarakat adat, serta kelompok rentan lainnya. Ketertutupan informasi membuat masyarakat tidak mengetahui bagaimana ruang hidup mereka akan diatur dan siapa yang akan diuntungkan.
“Penataan ruang tanpa transparansi dan partisipasi bermakna akan melahirkan ketimpangan baru dan itu bentuk lain dari ketidakadilan terhadap mereka yang hidup dari tanah dan alam,” tambah pernyataan tersebut.
Partisipasi yang Diabaikan Melanggar Hukum
Rimpaf menegaskan bahwa praktik semacam ini bertentangan dengan:
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menjamin hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyusunan dan pengendalian tata ruang; serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mewajibkan pelibatan masyarakat hukum adat, perempuan, dan kelompok rentan dalam setiap proses pembangunan yang berdampak ekologis dan sosial.
“Ketidakhadiran kelompok masyarakat adat, komunitas perempuan dan anak, serta mahasiswa dalam forum resmi konsultasi publik adalah bentuk pengabaian terhadap semangat partisipasi bermakna dan prinsip keadilan sosial,” tegas Meti.
Ruang Hidup Perempuan Bukan Sekadar Peta
Bagi Rimbun Pah Feto, ruang bukan sekadar wilayah administratif. Ruang adalah tubuh sosial dan ekologis tempat perempuan menanam, menimba air, dan menurunkan nilai-nilai hidup kepada anak-anak.
Ketika ruang diatur tanpa melibatkan mereka, maka yang hilang bukan hanya tanah, tetapi juga pengetahuan lokal, keseimbangan ekologis, dan keamanan sosial keluarga.
“Pemerintah sering berbicara tentang pembangunan berkelanjutan. Tapi berkelanjutan untuk siapa? Jika perempuan dan masyarakat adat tak dilibatkan, maka keberlanjutan itu hanya akan menjadi milik segelintir orang,” tambah meti.
Desakan Kepada Pemerintah Daerah
Melalui rilis ini, Rimbun Pah Feto mendesak Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan untuk segera:
1. Menghentikan sementara proses finalisasi revisi RTRW, dan membuka kembali tahapan konsultasi publik yang inklusif, melibatkan perempuan, anak, masyarakat adat, pemuda, dan organisasi masyarakat sipil.
2. Memublikasikan dokumen draf revisi RTRW secara terbuka, baik melalui laman resmi pemerintah maupun versi cetak di kantor desa dan kelurahan.
3. Memasukkan hasil pemetaan partisipatif masyarakat adat dan komunitas perempuan, termasuk sumber air, situs budaya, dan lahan produktif, ke dalam dokumen RTRW.
4. Menegaskan prinsip kearifan lokal, keadilan ekologis, dan keadilan gender dalam penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Bagi Rimbun Pah Feto (Rimpaf), pembangunan sejati bukan sekadar menata ruang di atas kertas, melainkan menata relasi kuasa antara rakyat dan pemerintah. Ruang hidup perempuan dan masyarakat adat bukan titik koordinat di peta, tetapi napas kebudayaan, sumber penghidupan, dan dasar martabat manusia.
Rls





