TTS _ NTT
Rimbun Pah Feto (Rimpaf) Timor Tengah Selatan menyatakan keprihatinan mendalam atas mandeknya proses hukum kasus dugaan persetubuhan terhadap anak di Desa Kelle, Kecamatan Kuanfatu, Kabupaten TTS. Hingga saat ini, kasus tersebut belum menemukan titik terang, sementara keluarga korban terus menunggu keadilan yang tak kunjung datang.
Rimpaf TTS menilai bahwa Polres TTS telah gagal menunjukkan keseriusan dalam penanganan kasus tersebut. “Kami melihat adanya kelambanan dan ketidakjelasan sikap dari aparat penegak hukum. Ini bukan hanya soal teknis penyidikan, tapi soal keberpihakan kepada korban dan komitmen terhadap keadilan,” tegas Honing Alvianto Bana, Ketua Rimpaf TTS, Senin (13/10/2025)
Menurut Honing, pernyataan Kapolres TTS yang menilai bahwa sebagian besar kasus kejahatan di TTS terjadi akibat minuman keras dan lemahnya iman merupakan bentuk penyederhanaan persoalan sosial yang kompleks. “Kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak cukup dijelaskan dengan istilah ‘iman lemah’. Di balik itu ada masalah struktural: budaya patriarki, lemahnya penegakan hukum, kemiskinan, dan minimnya perlindungan bagi korban,” tambahnya.
Rimpaf TTS menilai, narasi yang terlalu moralistik justru berpotensi mengalihkan fokus dari tanggung jawab institusi penegak hukum untuk menindak tegas pelaku. “Moralitas penting, tetapi yang jauh lebih mendesak adalah penegakan hukum yang berpihak pada korban, bukan ceramah moral yang berhenti di kata-kata,” kata Honing.
Oleh karena itu, Rimpaf TTS menuntut Polres TTS untuk segera membuka kembali kasus tersebut secara transparan, memproses penyidikan dengan serius, serta menahan pelaku yang diduga kuat telah melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap anak. Langkah ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap kepolisian dan memastikan korban mendapatkan keadilan yang layak.
Selain itu, Rimpaf TTS juga mendesak Kapolda NTT untuk memantau langsung proses hukum kasus ini dan memastikan tidak ada praktik pembiaran atau intervensi dari pihak manapun.
“Kami tidak akan berhenti bersuara sampai keadilan ditegakkan. Kasus ini bukan hanya tentang satu korban, tetapi tentang masa depan anak-anak perempuan di TTS,” tutup Honing Alvianto Bana.