SoE, Investigasi86.com — Komunitas Riset, Pendidikan, dan Advokasi Feminis (RIMPAF) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menyesalkan pernyataan Wakil Bupati TTS yang menyebut tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah itu disebabkan oleh faktor ekonomi serta minimnya infrastruktur seperti CCTV dan penerangan jalan.
Bagi RIMPAF, pernyataan tersebut bukan saja dangkal, tetapi juga menyesatkan, karena mengabaikan akar persoalan yang jauh lebih mendasar — yakni budaya patriarki, lemahnya sistem hukum, serta minimnya keberpihakan negara terhadap korban.
Menurut data UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) TTS, sejak 2021 hingga Oktober 2025 telah tercatat lebih dari 400 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bentuknya pun berulang dari tahun ke tahun: kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran, pemaksaan hubungan seksual, hingga kasus persetubuhan anak.
Yang ironis, mayoritas kasus tersebut terjadi di ranah domestik — di dalam rumah, bukan di jalan gelap yang kekurangan lampu atau kamera pengintai.
“Bagaimana mungkin pemerintah bicara perlindungan, jika satu-satunya tempat rujukan korban bahkan tidak punya psikolog?” ujar Honing Alvianto Bana, Ketua RIMPAF TTS, kepada Investigasi86.com, Jumat (31/10).
Honing menilai pernyataan Wakil Bupati menunjukkan minimnya pemahaman pejabat publik terhadap persoalan kekerasan berbasis gender.
«“Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan karena ekonomi atau kurang lampu, tapi karena sistem sosial dan pemerintahan yang membiarkan pelaku merasa aman. Pernyataan seperti ini memperlihatkan betapa rendahnya komitmen moral pemerintah terhadap perlindungan korban,” tegas Honing.»
Koordinator Divisi Pendidikan dan Literasi Sosial RIMPAF, Dedy Tafui, menambahkan, pemerintah seharusnya berbicara tentang tanggung jawab negara, bukan sekadar soal penerangan jalan.
«“Lampu jalan mungkin bisa mencegah pencurian, tapi tidak akan menghentikan ayah yang memukul anaknya, guru yang melecehkan muridnya, atau pejabat yang mempermainkan bawahannya,” kata Dedy.»
RIMPAF juga menyoroti lemahnya penegakan hukum dan buruknya koordinasi antarinstansi dalam menangani kasus kekerasan. Dari 55 kasus yang tercatat sepanjang 2025, hanya sekitar 10 kasus yang dinyatakan tuntas. Artinya, lebih dari 80 persen korban masih menunggu keadilan, sementara sebagian pelaku tetap bebas di tengah masyarakat.
“Jika pemerintah benar-benar serius, fokusnya semestinya pada penguatan sistem hukum, peningkatan kapasitas aparat, dan dukungan nyata bagi korban — bukan menuding lampu jalan sebagai penyebab,” lanjut Dedy.
RIMPAF menilai pernyataan Wakil Bupati berbahaya karena mengalihkan tanggung jawab negara menjadi urusan teknis semata. Kekerasan terhadap perempuan dan anak, menurut RIMPAF, adalah akibat dari ketimpangan kuasa, budaya patriarki, dan kegagalan lembaga negara menegakkan hukum yang berpihak pada korban.
Organisasi itu juga mendesak pejabat publik berhenti menyederhanakan masalah sosial yang kompleks dan mulai menunjukkan empati serta tanggung jawab moral melalui kebijakan nyata — mulai dari pendidikan kesetaraan gender di sekolah, pelatihan sensitif gender bagi aparat penegak hukum, hingga pembentukan mekanisme cepat tanggap bagi korban kekerasan.
«“Yang dibutuhkan bukan CCTV, tapi kesadaran dan keberanian pejabat untuk berpihak pada korban,” tutup Dedy Tafui.»
(Rilis Resmi RIMPAF TTS – Diedit oleh Tim Investigasi86.com)





