More results...

Generic selectors
Cari yang sama persis
Cari berdasarkan judul
Cari berdasarkan konten
Post Type Selectors
Filter by Categories
Bandar Lampung
Bantul
Batam
Bengkulu Utara
Berita Kriminal
Blitar
Catatan Muslim
Daerah
Edukasi
Garut
Gunung Kidul
Halmahera Selatan
Halmahera Tengah
Hiburan
Iklan
Internasional
Investigasi
Jakarta
Jayapura
Kabupaten Bengkalis
Kabupaten Buru
Kabupaten Indragiri Hilir
Kabupaten Indragiri Hulu
Kabupaten Kampar
Kabupaten Kepahiang
Kabupaten Kuantan Singingi
Kabupaten Meranti
Kabupaten Mesuji
Kabupaten Pelalawan
Kabupaten Rejang Lebong
Kabupaten Rokan hilir
Kabupaten Rokan Hulu
Kabupaten Siak
Kabupaten Tulang Bawang
Karimun
Kesehatan
Kota Dumai
Kota Magelang
Kota Manado
Kota Semarang
Labuhan Batu
Maluku Tenggara
Merangin
Motivasi
Narasi dan Opini
Papua
Pekanbaru
Provinsi BALI
Provinsi Banten
Provinsi Bengkulu
Provinsi DIY
Provinsi Jambi
Provinsi Jawa Barat
Provinsi Jawa Tengah
Provinsi Jawa Timur
Provinsi Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan Tengah
Provinsi Kepri
Provinsi Lampung
Provinsi Maluku
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Provinsi Riau
Provinsi Sulawesi Barat
Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Tenggara
Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Sumatera barat
Provinsi Sumatera Selatan
Provinsi Sumatra Utara
Provisi Maluku Utara
Sejarah
Sleman
Tanggamus
Ternate
Tidore
Tidore Kepulauan
Timor Tengah Selatan
Trenggalek
Video
Way Kanan
Yogyakarta
Yogyakarta
Daerah  

RIMPAF Timor Tengah Selatan Nilai Pernyataan Wakil Bupati TTS Soal Kekerasan Perempuan dan Anak Dangkal dan Menyesatkan

SoE, Investigasi86.com — Komunitas Riset, Pendidikan, dan Advokasi Feminis (RIMPAF) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menyesalkan pernyataan Wakil Bupati TTS yang menyebut tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah itu disebabkan oleh faktor ekonomi serta minimnya infrastruktur seperti CCTV dan penerangan jalan.

Bagi RIMPAF, pernyataan tersebut bukan saja dangkal, tetapi juga menyesatkan, karena mengabaikan akar persoalan yang jauh lebih mendasar — yakni budaya patriarki, lemahnya sistem hukum, serta minimnya keberpihakan negara terhadap korban.

Menurut data UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) TTS, sejak 2021 hingga Oktober 2025 telah tercatat lebih dari 400 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bentuknya pun berulang dari tahun ke tahun: kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran, pemaksaan hubungan seksual, hingga kasus persetubuhan anak.

Yang ironis, mayoritas kasus tersebut terjadi di ranah domestik — di dalam rumah, bukan di jalan gelap yang kekurangan lampu atau kamera pengintai.

“Bagaimana mungkin pemerintah bicara perlindungan, jika satu-satunya tempat rujukan korban bahkan tidak punya psikolog?” ujar Honing Alvianto Bana, Ketua RIMPAF TTS, kepada Investigasi86.com, Jumat (31/10).

Honing menilai pernyataan Wakil Bupati menunjukkan minimnya pemahaman pejabat publik terhadap persoalan kekerasan berbasis gender.

«“Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan karena ekonomi atau kurang lampu, tapi karena sistem sosial dan pemerintahan yang membiarkan pelaku merasa aman. Pernyataan seperti ini memperlihatkan betapa rendahnya komitmen moral pemerintah terhadap perlindungan korban,” tegas Honing.»

Koordinator Divisi Pendidikan dan Literasi Sosial RIMPAF, Dedy Tafui, menambahkan, pemerintah seharusnya berbicara tentang tanggung jawab negara, bukan sekadar soal penerangan jalan.

«“Lampu jalan mungkin bisa mencegah pencurian, tapi tidak akan menghentikan ayah yang memukul anaknya, guru yang melecehkan muridnya, atau pejabat yang mempermainkan bawahannya,” kata Dedy.»

RIMPAF juga menyoroti lemahnya penegakan hukum dan buruknya koordinasi antarinstansi dalam menangani kasus kekerasan. Dari 55 kasus yang tercatat sepanjang 2025, hanya sekitar 10 kasus yang dinyatakan tuntas. Artinya, lebih dari 80 persen korban masih menunggu keadilan, sementara sebagian pelaku tetap bebas di tengah masyarakat.

“Jika pemerintah benar-benar serius, fokusnya semestinya pada penguatan sistem hukum, peningkatan kapasitas aparat, dan dukungan nyata bagi korban — bukan menuding lampu jalan sebagai penyebab,” lanjut Dedy.

RIMPAF menilai pernyataan Wakil Bupati berbahaya karena mengalihkan tanggung jawab negara menjadi urusan teknis semata. Kekerasan terhadap perempuan dan anak, menurut RIMPAF, adalah akibat dari ketimpangan kuasa, budaya patriarki, dan kegagalan lembaga negara menegakkan hukum yang berpihak pada korban.

Organisasi itu juga mendesak pejabat publik berhenti menyederhanakan masalah sosial yang kompleks dan mulai menunjukkan empati serta tanggung jawab moral melalui kebijakan nyata — mulai dari pendidikan kesetaraan gender di sekolah, pelatihan sensitif gender bagi aparat penegak hukum, hingga pembentukan mekanisme cepat tanggap bagi korban kekerasan.

«“Yang dibutuhkan bukan CCTV, tapi kesadaran dan keberanian pejabat untuk berpihak pada korban,” tutup Dedy Tafui.»

(Rilis Resmi RIMPAF TTS – Diedit oleh Tim Investigasi86.com)

Klik tombol tindakan dibawah sesuai pilihanmu untuk membagikan informasi ini!