TTS _ NTT
Komunitas Rimbun Pah Feto (RIMPAF) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menilai keputusan Pemerintah Daerah TTS yang tidak mengusulkan 1.689 tenaga honorer untuk diangkat menjadi PPPK paruh waktu adalah bentuk pengabaian hak dan ancaman serius bagi pelayanan publik.
Bagi RIMPAF, persoalan honorer bukan hanya soal status kerja atau tambahan gaji. Ini menyentuh langsung bidang yang selama ini menjadi fokus perjuangan kami. Banyak tenaga honorer adalah perempuan, guru, dan tenaga kesehatan yang setiap hari berhadapan dengan anak-anak serta masyarakat kecil di desa-desa. Jika mereka tidak diberi kepastian, maka yang terguncang pertama adalah ruang belajar anak, layanan kesehatan bagi perempuan, dan ekonomi rumah tangga yang bergantung pada penghasilan honorer.
“Alasan anggaran tidak boleh dijadikan tameng untuk menutup pintu pengusulan PPPK. Aturan nasional sudah jelas membuka ruang pengangkatan bertahap dan bahkan meminta daerah berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Kalau Pemda tidak mengusulkan, itu sama saja melanggar kewajiban administratif dan mengorbankan rakyat kecil,” tegas Honing Alvianto Bana, Ketua RIMPAF TTS, Jumat (26/09/2025)
RIMPAF menegaskan bahwa penataan honorer adalah amanat hukum: UU ASN No.20/2023, PP No.49/2018 tentang Manajemen PPPK, hingga Keputusan MenPAN-RB No.16/2025 tentang PPPK Paruh Waktu. Pemda wajib menyusun dan mengusulkan kebutuhan formasi, bukan menolaknya mentah-mentah dengan alasan fiskal.
Tuntutan RIMPAF
1. Bupati TTS segera mengusulkan 1.689 honorer ke BKN melalui mekanisme PPPK Paruh Waktu, minimal dengan skema bertahap.
2. DPRD TTS memastikan pengawasan berjalan dengan memanggil Pemda dan membuka ruang dialog transparan.
3. Pemda TTS secepatnya berkoordinasi degan kementerian PAN-RB, BKN, dan DPR RI untuk mengambil peran demi memastikan hak honorer tidak diabaikan.
4. Jika tidak ada tindak lanjut, RIMPAF bersama honorer siap mengadukan kasus ini ke Ombudsman RI.
“RIMPAF berdiri bersama honorer karena ini soal masa depan TTS. Anak-anak kita berhak atas pendidikan, perempuan berhak atas layanan kesehatan, dan keluarga honorer berhak atas kepastian hidup. Penolakan usulan PPPK bukan hanya masalah pegawai, tapi masalah hak rakyat,” tutup Honing.