SOE, INVESTIGASI86.COM —
Bencana tanah longsor kembali menerjang Desa Nasi, Kecamatan Amanatun Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu dini hari (31/5/2025). Sedikitnya tujuh kepala keluarga (KK) terdampak langsung, dengan tiga rumah mengalami kerusakan berat, sementara empat lainnya berada dalam kondisi sangat rawan.
Peristiwa ini merupakan longsor susulan setelah kejadian serupa pada 9 Mei lalu. Pemicu utamanya adalah intensitas hujan tinggi yang mengguyur wilayah tersebut sejak Kamis (29/5), menyebabkan pergerakan tanah dan munculnya patahan baru di sekitar permukiman warga.
Data yang dihimpun dari pemerintah desa setempat menyebutkan, tiga rumah milik warga RT 001 RW 001 atas nama Danial Kase, Seprianus Banu, dan Musa Linome mengalami kerusakan parah. Keluarga mereka telah dievakuasi oleh aparat desa mengingat tanah di sekitar bangunan telah ambles dan menunjukkan retakan signifikan.
Sementara itu, empat KK lainnya—Martinus Bell, Danial Linome, Marten Bell, dan Yusak Linome—yang tinggal di RT 004 RW 002, kini hidup dalam kecemasan. Retakan tanah dan kerusakan fondasi rumah telah mengelilingi kawasan permukiman mereka.
“Pergerakan tanah terus berlangsung. Kami khawatir longsor susulan lebih besar akan terjadi, apalagi hujan belum berhenti,” ujar Penjabat Kepala Desa Nasi, Isak Y.O. Tafuli, saat dikonfirmasi Kompas, Sabtu siang.
Menurut Isak, upaya evakuasi telah dilakukan secara mandiri oleh pemerintah desa. Salah satu korban, Danial Kase, saat ini sudah dipindahkan ke kantor desa sebagai tempat perlindungan sementara. Sementara korban lain, Musa Linome, sebelumnya telah dievakuasi pasca longsor pertama.
Namun demikian, hingga berita ini diturunkan, belum ada bantuan darurat yang datang dari pemerintah kabupaten maupun instansi terkait.
“Kami sudah menyampaikan laporan resmi ke BPBD dan Dinas Sosial TTS sejak kejadian pertama. Tapi sampai longsor susulan ini terjadi, belum ada bantuan atau tanggapan langsung,” kata Isak.
Masyarakat Desa Nasi kini menggantungkan harapan pada perhatian pemerintah daerah dan lembaga kemanusiaan. Dengan intensitas hujan yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, mereka khawatir bencana ini akan menelan korban lebih besar bila tidak segera ditangani.
“Warga sudah mengungsi, ada yang tinggal sementara di kebun atau rumah keluarga lain. Tapi tanpa bantuan logistik, tenda, dan alat evakuasi, kondisi mereka sangat memprihatinkan,” ungkap seorang tokoh masyarakat setempat.
Bencana, dalam bentuk apapun, tidak mengenal waktu dan tempat. Namun, respons dan kecepatan penanganan adalah ukuran sejati dari keberpihakan negara terhadap rakyatnya. Pemerintah daerah Kabupaten TTS perlu segera hadir, bukan sekadar mencatat, tetapi bertindak nyata—karena saat bencana mengancam, diam bukanlah pilihan.
Penulis: Redaksi
Editor: [kaperwil NTT]