Transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto tidak hanya menyangkut perubahan sosok di tampuk kekuasaan, tetapi juga menyiratkan koreksi halus terhadap arah kebijakan strategis pemerintahan sebelumnya.
Dalam 100 hari menjelang pelantikan resmi, publik menyaksikan sejumlah keputusan yang menandai reposisi serius terhadap lima kebijakan populer era Jokowi. Reposisi ini bukan bentuk penolakan total, melainkan rekalibrasi atas nama kepentingan rakyat dan stabilitas jangka panjang.
Salah satu langkah korektif paling menonjol adalah pembatalan izin ekspor pasir laut. Mahkamah Agung mencabut aturan yang sempat diterbitkan di masa Jokowi, dengan pertimbangan lingkungan dan kedaulatan maritim. “Ekspor pasir laut bukan hanya mengancam ekosistem pesisir, tapi juga integritas wilayah negara,” jelas Prof. Mas Achmad Santosa, pakar hukum lingkungan dari Universitas Indonesia. Prabowo, melalui kebijakan ini, tampak ingin mengembalikan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya alam.
Reposisi juga menyentuh ranah pendidikan. Sistem zonasi PPDB yang diperkenalkan pada era Jokowi dengan semangat pemerataan akses, kini tengah dikaji ulang. Kementerian Pendidikan menyebutkan bahwa sistem ini menyulitkan 28% peserta didik dari daerah 3T ( Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Dirjen PAUD dan Dikdasmen mengakui bahwa fleksibilitas perlu ditingkatkan. Pemerintahan Prabowo berupaya menyederhanakan mekanisme ini agar tetap adil, tetapi tidak menambah beban bagi wilayah dengan keterbatasan infrastruktur.
Reposisi simbolik lain terjadi di Aceh, saat pemerintah pusat membatalkan penyerahan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara. Keputusan ini mendapat sambutan positif dari para tokoh adat dan masyarakat lokal. “Ini bukan soal administrasi semata, tapi pengakuan terhadap sejarah, adat, dan martabat rakyat Aceh,” ujar Dr. Badrul Munir, mantan Wakil Gubernur Aceh. Keputusan ini dinilai memperkuat semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang kerap diabaikan dalam pendekatan birokratis Jakarta-sentris.
Di bidang fiskal, Prabowo melakukan manuver strategis dengan menghentikan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Di tengah tekanan ekonomi dan ancaman inflasi global, kebijakan ini menjadi sinyal bahwa pemerintah baru lebih peka terhadap beban masyarakat. “Kenaikan pajak saat daya beli menurun bisa jadi bumerang,” tegas Faisal Basri, ekonom senior INDEF. Reposisi fiskal ini membawa angin segar di tengah keresahan ekonomi pasca-pandemi.
Pergeseran kebijakan yang paling menyita perhatian publik adalah pemangkasan anggaran proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Pemerintah memutuskan realokasi anggaran besar-besaran ke sektor esensial seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan. Rencana Kerja Pemerintah 2025 mencatat adanya penguatan anggaran untuk layanan dasar. “Kita harus mengutamakan pembangunan manusia. Jika IKN hanya simbol, maka prioritas harus dikoreksi,” kata Dr. Yanuar Nugroho, mantan Deputi Kantor Staf Presiden dan peneliti bidang tata kelola publik.
Lima reposisi kebijakan ini bukanlah bentuk pemutusan sejarah, melainkan pengakuan bahwa kesinambungan pemerintahan membutuhkan penyesuaian. Prabowo menunjukkan bahwa ia tidak sekadar melanjutkan estafet, tapi juga memperbaiki jalur lintasannya. Ini adalah bentuk kepemimpinan yang tidak alergi terhadap koreksi dan mampu membaca ulang tantangan zaman secara realistis.
Namun tantangan berikutnya adalah menjaga agar reposisi ini tidak berhenti sebagai retorika. Diperlukan transparansi dalam proses evaluasi dan partisipasi publik dalam pengawasan. Revisi yang dilakukan secara tertutup akan membuka ruang bagi politisasi, bukan demokratisasi. Masyarakat sipil dan media memiliki peran penting untuk memastikan setiap reposisi benar-benar berpihak pada rakyat.
Sejarah akan mencatat bukan siapa yang menghapus warisan, tetapi siapa yang mampu menyempurnakannya. Kepemimpinan dalam demokrasi tidak diukur dari banyaknya janji, tapi dari keberanian mengubah arah tanpa kehilangan pijakan keadilan. Di sinilah, kepemimpinan Prabowo Subianto diuji: bukan sebagai pelanjut, tapi sebagai penyempurna masa depan bangsa.
Oleh: Ahmad Marzuki, S.Ag, MM.
Penulis lepas dan pemerhati isu-isu kebijakan publik nasional.