Suasana forum internasional yang biasanya tegang mendadak mencair ketika Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, melontarkan pujian kepada Presiden Indonesia, Prabowo Subianto. Peristiwa itu terjadi di New York, saat keduanya menghadiri pertemuan multilateral tentang isu Timur Tengah di ruang konsultasi Dewan Keamanan PBB.
Trump menilai pidato Prabowo sangat tegas, lalu menyoroti hentakan tangannya di meja sebagai simbol kekuatan politik yang jarang ditunjukkan pemimpin Asia di forum global.“Bagaimana menghadapi dia kalau sedang marah? Tidak mudah,” ujar Trump, disambut senyum para delegasi. Candaan ini bukan sekadar lelucon, melainkan gambaran bagaimana Trump melihat karakter politik Prabowo: keras, lugas, dan sulit ditekan.
Namun di balik canda itu, muncul pertanyaan penting: mengapa Trump begitu cepat mengangkat nama Prabowo di panggung internasional? Menurut Dr. Sarah Kendall, analis geopolitik dari Georgetown University, pujian publik semacam ini jarang muncul secara spontan. “Trump adalah politisi penuh kalkulasi. Sanjungannya pada Prabowo bisa dibaca sebagai sinyal pembukaan kerja sama strategis dengan Indonesia,” jelasnya.
Trump ternyata bukan satu-satunya yang memberikan pujian. Pemimpin Turki, sejumlah kepala negara Timur Tengah, hingga delegasi dari Afrika dan Amerika Latin juga menyampaikan apresiasi. Fenomena ini jarang terjadi: seorang pemimpin Indonesia mendapat dukungan lintas kawasan dengan narasi yang sama — ketegasan dan keberanian.
Menurut Prof. Ahmed Al-Farouqi dari Qatar University, pujian kolektif itu tidak bisa dilepaskan dari kondisi Timur Tengah yang rapuh. “Banyak negara merindukan figur yang berani berbicara lugas di forum global. Prabowo menghadirkan hal itu, bukan sekadar diplomasi formal, melainkan simbol perlawanan terhadap bahasa diplomasi yang terasa membosankan,” ujarnya.
Meski begitu, media internasional lebih banyak menyoroti gaya Prabowo daripada isi pidatonya. Hentakan tangan, ekspresi serius, dan diksi tegas lebih menonjol dibanding substansi diplomasi yang ia sampaikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah simbol mampu mengalahkan substansi?
Dr. Manuel Ortega, pengamat politik dari Amerika Latin, mengingatkan adanya risiko. “Dunia memang siap menerima gaya baru dari Indonesia. Namun jika hanya berhenti pada simbol, momentum ini akan cepat hilang. Dibutuhkan strategi nyata agar keberanian itu membuahkan hasil konkret,” katanya.
Di dalam negeri, pujian internasional tentu memperkuat citra Prabowo. Namun, analis CSIS Jakarta mengingatkan potensi masalah. “Jika diplomasi hanya dikaitkan dengan gaya personal, konsistensi negara bisa terganggu bila tidak ditopang oleh kebijakan yang solid,” tulis laporan CSIS terbaru.
Menariknya, forum ini memang digagas oleh Trump. Dengan kata lain, panggung sudah disusun sedemikian rupa sehingga pujian untuk Prabowo muncul dalam kerangka yang juga menguntungkan Amerika Serikat. Pertanyaannya, apakah ini murni pengakuan tulus, atau strategi AS untuk merangkul Indonesia di tengah rivalitas global dengan Tiongkok dan Rusia?
Apa pun motifnya, satu hal jelas: momen di New York menempatkan Indonesia dalam sorotan baru. Tantangan berikutnya adalah apakah Prabowo bisa mengubah momentum simbolik ini menjadi kekuatan nyata di panggung geopolitik, atau sekadar dikenang sebagai kisah diplomasi singkat yang penuh tepuk tangan tetapi minim tindak lanjut.
Oleh : Ahmad Marzuki Hasan. S.Ag, MM.
Kontributor Independen Untuk Isu Sosial-Ekologis.





