Presiden Prabowo Subianto menerbitkan dua surat presiden tertanggal 30 Juli 2025, yang berisi pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Lembong (Tom Lembong). Langkah ini telah memperoleh persetujuan DPR sesuai dengan kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Dalam catatan hukum, keputusan ini tidak hanya berdimensi yuridis, melainkan juga moral dan politis.
Secara hukum, amnesti adalah pengampunan kepada sekelompok orang atau individu atas tindak pidana tertentu, yang menghapus akibat hukum dari perbuatan tersebut, termasuk status narapidana. Sementara itu, abolisi adalah tindakan menghentikan proses hukum terhadap seseorang yang belum memiliki kekuatan hukum tetap. Keduanya merupakan hak prerogatif Presiden yang memerlukan pertimbangan dan persetujuan DPR, berbeda dengan grasi (pengurangan atau penghapusan hukuman yang melibatkan Mahkamah Agung) dan rehabilitasi (pemulihan nama baik bagi mereka yang dinyatakan tidak bersalah).
Keputusan Presiden ini segera menuai berbagai tanggapan. Sebagian kalangan melihatnya sebagai wujud rekonsiliasi politik, tetapi sebagian lainnya menilai perlu kehati-hatian agar tidak menimbulkan preseden pembebasan yang kontraproduktif terhadap pemberantasan korupsi dan reformasi tata kelola negara.
Guru Besar Hukum Tata Negara Prof. Zainal Arifin Mochtar menyebut bahwa pemberian abolisi dan amnesti harus dibingkai dalam “pertimbangan kepentingan umum, bukan sebagai alat kompromi politik jangka pendek.” Hal senada juga disampaikan oleh mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, bahwa hak prerogatif Presiden dalam pemberian pengampunan “harus digunakan dengan kearifan dan keadilan, bukan semata-mata kekuasaan.”
Kasus Tom Lembong terkait impor gula dan Hasto Kristiyanto terkait suap ke eks anggota KPU, menempatkan isu ini dalam sorotan publik. Apakah pengampunan negara akan memberi efek jera, atau justru menjadi ruang kelonggaran bagi pelanggaran hukum yang sistemik?
Refleksi mendalam perlu kita lakukan. Negara hukum bukan sekadar tentang aturan tertulis, tetapi juga tentang rasa keadilan. Dalam konteks ini, pengampunan negara seharusnya tidak memudarkan makna pertanggungjawaban hukum, melainkan menjadi jalan untuk membangun iklim politik yang sehat, adil, dan akuntabel.
Perlu ditegaskan bahwa hak konstitusional Presiden untuk memberi abolisi dan amnesti tidak boleh diintervensi lembaga lain. Namun dalam masyarakat demokratis, transparansi alasan pemberian pengampunan menjadi kunci menjaga kepercayaan publik. Apalagi jika keputusan tersebut menyangkut elite politik yang punya jejaring kuasa luas.
Esensi pengampunan dalam konstitusi adalah kemanusiaan dan kepentingan bangsa yang lebih luas, bukan penyelamatan elite. Presiden sebagai kepala negara harus menjadi teladan moral, bukan sekadar pengguna wewenang. Seperti kata Bung Hatta, “Kekuasaan tanpa etika adalah jalan menuju kekacauan.”
Kita berharap, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, praktik pengampunan negara menjadi bagian dari reformasi politik yang lebih etis, lebih jernih, dan berpihak kepada rakyat. Bukan semata kompromi kekuasaan, melainkan penanda kebesaran negara dalam merawat keadilan dan demokrasi.
Oleh : Ahmad Marzuki Hasan.
Kontributor Independen untuk Isu Sosial-Ekologis