More results...

Generic selectors
Cari yang sama persis
Cari berdasarkan judul
Cari berdasarkan konten
Post Type Selectors
Filter by Categories
Bantul
Batam
Bengkulu Utara
Berita Kriminal
Blitar
Catatan Muslim
Daerah
Edukasi
Garut
Gunung Kidul
Halmahera Selatan
Halmahera Tengah
Hiburan
Iklan
Internasional
Investigasi
Jakarta
Jayapura
Kabupaten Bengkalis
Kabupaten Buru
Kabupaten Indragiri Hilir
Kabupaten Indragiri Hulu
Kabupaten Kampar
Kabupaten Kepahiang
Kabupaten Kuantan Singingi
Kabupaten Pelalawan
Kabupaten Rejang Lebong
Kabupaten Rokan hilir
Kabupaten Rokan Hulu
Kabupaten Siak
Karimun
Kesehatan
Kota Dumai
Kota Magelang
Kota Manado
Kota Semarang
Labuhan Batu
Maluku Tenggara
Merangin
Narasi dan Opini
Papua
Pekanbaru
Provinsi BALI
Provinsi Banten
Provinsi Bengkulu
Provinsi DIY
Provinsi Jambi
Provinsi Jawa Barat
Provinsi Jawa Tengah
Provinsi Jawa Timur
Provinsi Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan Tengah
Provinsi Kepri
Provinsi Lampung
Provinsi Maluku
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Provinsi Riau
Provinsi Sulawesi Barat
Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Tenggara
Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Sumatera barat
Provinsi Sumatera Selatan
Provinsi Sumatra Utara
Provisi Maluku Utara
Sejarah
Sleman
Tanggamus
Ternate
Tidore
Timor Tengah Selatan
Trenggalek
Video
Way Kanan
Yogyakarta
Yogyakarta

Politik Pengampunan Dan Etika Kenegaraan

Presiden Prabowo Subianto menerbitkan dua surat presiden tertanggal 30 Juli 2025, yang berisi pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Lembong (Tom Lembong). Langkah ini telah memperoleh persetujuan DPR sesuai dengan kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Dalam catatan hukum, keputusan ini tidak hanya berdimensi yuridis, melainkan juga moral dan politis.

Secara hukum, amnesti adalah pengampunan kepada sekelompok orang atau individu atas tindak pidana tertentu, yang menghapus akibat hukum dari perbuatan tersebut, termasuk status narapidana. Sementara itu, abolisi adalah tindakan menghentikan proses hukum terhadap seseorang yang belum memiliki kekuatan hukum tetap. Keduanya merupakan hak prerogatif Presiden yang memerlukan pertimbangan dan persetujuan DPR, berbeda dengan grasi (pengurangan atau penghapusan hukuman yang melibatkan Mahkamah Agung) dan rehabilitasi (pemulihan nama baik bagi mereka yang dinyatakan tidak bersalah).

Keputusan Presiden ini segera menuai berbagai tanggapan. Sebagian kalangan melihatnya sebagai wujud rekonsiliasi politik, tetapi sebagian lainnya menilai perlu kehati-hatian agar tidak menimbulkan preseden pembebasan yang kontraproduktif terhadap pemberantasan korupsi dan reformasi tata kelola negara.

Guru Besar Hukum Tata Negara Prof. Zainal Arifin Mochtar menyebut bahwa pemberian abolisi dan amnesti harus dibingkai dalam “pertimbangan kepentingan umum, bukan sebagai alat kompromi politik jangka pendek.” Hal senada juga disampaikan oleh mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, bahwa hak prerogatif Presiden dalam pemberian pengampunan “harus digunakan dengan kearifan dan keadilan, bukan semata-mata kekuasaan.”

Kasus Tom Lembong terkait impor gula dan Hasto Kristiyanto terkait suap ke eks anggota KPU, menempatkan isu ini dalam sorotan publik. Apakah pengampunan negara akan memberi efek jera, atau justru menjadi ruang kelonggaran bagi pelanggaran hukum yang sistemik?

Refleksi mendalam perlu kita lakukan. Negara hukum bukan sekadar tentang aturan tertulis, tetapi juga tentang rasa keadilan. Dalam konteks ini, pengampunan negara seharusnya tidak memudarkan makna pertanggungjawaban hukum, melainkan menjadi jalan untuk membangun iklim politik yang sehat, adil, dan akuntabel.

Perlu ditegaskan bahwa hak konstitusional Presiden untuk memberi abolisi dan amnesti tidak boleh diintervensi lembaga lain. Namun dalam masyarakat demokratis, transparansi alasan pemberian pengampunan menjadi kunci menjaga kepercayaan publik. Apalagi jika keputusan tersebut menyangkut elite politik yang punya jejaring kuasa luas.

Esensi pengampunan dalam konstitusi adalah kemanusiaan dan kepentingan bangsa yang lebih luas, bukan penyelamatan elite. Presiden sebagai kepala negara harus menjadi teladan moral, bukan sekadar pengguna wewenang. Seperti kata Bung Hatta, “Kekuasaan tanpa etika adalah jalan menuju kekacauan.”

Kita berharap, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, praktik pengampunan negara menjadi bagian dari reformasi politik yang lebih etis, lebih jernih, dan berpihak kepada rakyat. Bukan semata kompromi kekuasaan, melainkan penanda kebesaran negara dalam merawat keadilan dan demokrasi.

Oleh : Ahmad Marzuki Hasan.
Kontributor Independen untuk Isu Sosial-Ekologis

 

Klik tombol tindakan dibawah sesuai pilihanmu untuk membagikan informasi ini!