Beberapa pekan terakhir, sejumlah kasus yang menyeret nama pesantren mencuat di media sosial dan pemberitaan nasional. Ada yang menyangkut perilaku oknum, ada pula yang dipelintir oleh narasi yang tak utuh. Publik pun cepat menuding, seolah setiap pesantren pantas diseret dalam kesalahan yang sama. Padahal, seperti pesan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, “Pesantren itu laksana pelita: sinarnya bisa redup oleh debu, tapi tak pernah padam oleh zaman.”
Fenomena ini menunjukkan betapa mudahnya masyarakat tergiring oleh arus informasi digital. Satu potongan video, satu judul sensasional, bisa menodai reputasi lembaga yang selama ratusan tahun menjadi sumber ilmu dan akhlak. Pesantren bukan sekadar ruang pendidikan agama, tapi pusat pembentukan karakter bangsa. Dalam keheningan malam, para santri menanamkan nilai sabar, zuhud, dan cinta ilmu — nilai-nilai yang kian langka di tengah hiruk-pikuk dunia yang serba cepat.
Ketika satu pesantren diuji, publik sering lupa membedakan antara kesalahan individu dan jasa lembaga. Setiap rumah besar pasti memiliki retakan kecil. Namun tidak adil jika seluruh bangunan dipukul rata karena ulah satu penghuni. Seperti pesan KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), “Jangan cepat menghukum, karena yang salah mungkin manusia, tapi yang terluka adalah kemanusiaan kita sendiri.”
Di tengah badai opini, banyak kiai memilih diam. Diam bukan tanda kalah, tetapi bentuk kesabaran menjaga marwah. Mereka lebih sibuk menata hati santri daripada meladeni hujatan di layar ponsel. Sebab pesantren telah lama hidup dari doa, bukan dari pujian. KH. Miftahul Akhyar pernah mengingatkan, “Menjaga kehormatan pesantren bukan sekadar tugas santri, tapi kewajiban umat.”
Di ruang-ruang kecil berlantai semen, para santri masih khusyuk membaca kitab kuning. Lampu redup, suara ngaji bergema lembut, seolah tak terusik oleh hiruk-pikuk dunia luar. Mereka tahu, badai akan berlalu, dan kebenaran akan tetap berdiri. Pesantren tidak akan runtuh oleh opini; ia berdiri di atas fondasi sabar, ikhlas, dan doa para kekasih Allah.
Namun bangsa ini tampaknya sedang kehilangan kebijaksanaan dalam menilai. Zaman yang cepat menuding, lambat memahami. Satu isu disebar, seribu prasangka tumbuh. Padahal Islam mengajarkan tabayyun — klarifikasi sebelum menghakimi. Seperti pesan KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha’): “Kalau kamu belum tahu duduk masalahnya, lebih baik diam. Bisa jadi diam itu bagian dari ibadah.”
Di tengah derasnya fitnah, pesantren justru mengajarkan pelajaran moral paling tinggi: istiqamah dalam kebenaran meski disalahpahami. Dalam sunyi, para kiai terus menanam kebaikan tanpa pamrih. Pemerintah dan masyarakat seharusnya tidak hanya hadir saat krisis, tetapi juga mendampingi pesantren agar kuat secara moral, hukum, dan komunikasi publik.
Pesantren pun perlu berbenah tanpa kehilangan jati diri. Keterbukaan informasi menuntut tata kelola yang transparan dan akuntabel. Banyak pesantren kini mulai memanfaatkan media sosial untuk menunjukkan wajah sejatinya: tempat lahirnya intelektual yang rendah hati, penghafal yang cerdas, dan penggerak moral bangsa. Modernisasi bukan ancaman, selama ruh spiritual tetap dijaga.
Jangan biarkan satu dua peristiwa membuat kita lupa bahwa dari pesantrenlah lahir para pendiri republik ini. Dari rahim pesantren muncul pejuang seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, hingga KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mereka tak hanya mengajar ilmu, tapi menyalakan nurani bangsa. Gus Dur pernah berkata, “Pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tapi pusat kebudayaan dan kemanusiaan.” Maka ketika pesantren diguncang, yang terguncang bukan sekadar lembaga, tapi akar moral bangsa.
Karena itu, mari berhenti mengutuk dalam gelap. Jika pesantren sedang diuji, dekati dengan cinta, bukan prasangka. Bantu mereka memperbaiki, bukan menghancurkan. Sebab bila pesantren roboh, cahaya moral bangsa pun padam. Dan ketika cahaya itu padam, kita semua akan berjalan tanpa arah — kehilangan nurani yang dulu dijaga oleh tangan-tangan tulus para kiai dan santri.
Oleh : Ahmad Marzuki Hasan. S.Ag, MM
Kontributor Independen Untuk Isu Sosial-Ekologis.