Di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), ribuan tenaga honorer hari ini sedang berada di persimpangan jalan. Mereka adalah guru yang setiap pagi masuk kelas meski gajinya tidak cukup untuk hidup layak. Mereka adalah tenaga kesehatan yang tetap siaga di puskesmas meski status kerjanya menggantung. Mereka adalah pekerja di berbagai sektor pelayanan publik yang memilih bertahan demi pengabdian, bukan karena ada kepastian.
Namun, apa balasan pemerintah? Pemda TTS justru memutuskan tidak mengusulkan 1.689 tenaga honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu. Alasannya? Anggaran Rp52 miliar per tahun dianggap terlalu besar.
Di sini letak persoalannya. Pemerintah menghitung angka, tetapi lupa menghitung dampak sosial yang jauh lebih besar. Mari kita bertanya dengan jujur, berapa biaya yang harus dibayar masyarakat jika anak-anak kehilangan guru? Berapa harga yang pantas untuk kesehatan perempuan di desa-desa yang tidak lagi memiliki tenaga medis? Berapa kerugian ekonomi lokal bila ribuan keluarga honorer kehilangan penghasilan?
Fakta hukum sudah jelas. Regulasi nasional mulai dari UU ASN, PP 49/2018, hingga kebijakan terbaru MenPAN-RB telah memberi ruang bagi daerah untuk mengusulkan honorer sebagai PPPK, termasuk dalam bentuk paruh waktu. Pemerintah pusat bahkan membuka opsi pengangkatan bertahap dan kemungkinan dukungan pendanaan. Jadi, menolak total sama sekali bukan soal tidak ada jalan, melainkan soal tidak ada keberpihakan.
Dan keberpihakan itulah yang dipertanyakan hari ini. Apakah Pemda TTS berdiri bersama rakyat kecil yang telah mengabdi puluhan tahun, ataukah memilih aman dengan dalih angka-angka di atas kertas?
Perlu ditegaskan bahwa honorer bukan hanya soal status kerja. Ini menyangkut wajah pelayanan publik kita. Ketika honorer dibiarkan tanpa kepastian, yang paling dulu terguncang adalah anak-anak di sekolah, pasien di puskesmas, dan masyarakat desa yang bergantung pada tenaga kerja ini. Masa depan TTS ikut digadaikan ketika nasib honorer diabaikan.
DPRD TTS juga tidak boleh sekadar menonton. Fungsi pengawasan dan hak anggaran harus digunakan sepenuhnya. Kalau Pemda memilih menutup pintu, DPRD harus berani membuka jalan. Transparansi harus dijamin, anggaran bisa diatur bertahap, dan fasilitasi pusat bisa diminta. Diam berarti ikut serta dalam pengabaian.
Hari ini, seribu lebih honorer adalah simbol perjuangan rakyat kecil. Suara mereka adalah suara rakyat TTS. Ketika mereka menuntut kepastian, mereka tidak sedang meminta belas kasihan, melainkan menagih janji negara.
Karena itu, sudah saatnya kita berkata dengan tegas bahwa menolak usulan PPPK paruh waktu berarti menolak hak rakyat. Dan menunda keadilan bagi honorer berarti menolak keadilan itu sendiri.
***
Honing Alvianto Bana, Lahir Soe Nusa Tenggara Timur. Ia saat ini menjabat sebagai Ketua Komunitas Rimpaf TTS. Komunitas ini berfokus pada isu perlindungan perempuan dan anak, pendidikan kritis, ekonomi lokal, dan advokasi kebijakan.
Oleh: Honing Alvianto Bana (Ketua Rimpaf TTS)