Inhil _ Riau
Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 (MIN) Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau yang seharusnya menjadi contoh pengelolaan pendidikan berbasis dana negara, diduga masih membebani orang tua murid dengan pungutan uang pembangunan Rp.150.000 pada saat penerimaan siswa baru Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 1 Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Provinsi Riau. Senin (30/09/2025)
Sekolah ini diketahui baru saja mendapatkan proyek pembangunan gedung baru yang menelan biaya fantastis. Dari data yang dihimpun, pembangunan gedung kelas dua lantai dengan enam lokal di Jalan Subrantas, Tembilahan Hilir, dengan anggaran sebesar Rp 3.034.498.267,43. Sumber dana berasal dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang proses lelangnya ditangani langsung oleh Kanwil Kementerian Agama.
Selain itu, bangunan lama Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 (MIN) juga sudah masuk dalam tahap lelang pada 21 Juli 2025, dan dimenangkan oleh kontraktor asal Labuhan Batu dengan nilai sebesar Rp 2.871.300.
Dengan adanya pembangunan gedung baru dan dukungan penuh dari dana negara, seharusnya beban operasional sekolah bisa tertutupi tanpa harus menarik pungutan dari orang tua siswa.
Namun, kenyataannya berbeda. Dalam wawancara langsung dengan Kepala Sekolah MIN 1 Tembilahan, Masnadi, S.Pd.I, M.Pd, di ruang kerjanya di Jalan Perintis, ia mengakui bahwa pihak sekolah memang masih menarik uang bangunan dari orang tua siswa pada setiap penerimaan murid baru.
“Iya, memang ada pungutan uang bangunan. Alasannya karena fasilitas sekolah masih dianggap tidak memadai untuk menampung seluruh siswa,” ujar Masnadi selaku kepsek MIN 1 Tembilahan Hulu.
Padahal, MIN 1 Tembilahan saat ini memiliki jumlah siswa yang tidak sedikit, yakni mencapai 1.036 siswa. Jika di kalikan dengan nominal yang di duga Rp.150.000×1.036 siswa = 155.400.000.
Sementara,sebagai sekolah negeri, pembiayaan operasional juga mendapat dukungan penuh dari Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Dengan ada nya dugaan pungutan uang bangunan yang dibebankan kepada orang tua siswa sah secara regulasi, atau justru melanggar aturan yang menegaskan bahwa sekolah negeri tidak boleh melakukan pungutan di luar ketentuan pemerintah?
Jika kita mengacu kepada UU No 31 Tahun 1999 pungli adalah salah satu tindakan melawan hukum yang diatur dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 junto. Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pungutan liar adalah termasuk tindakan korupsi dan merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang harus diberantas.
Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 : (1) , dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kebijakan ini tentu menuai sorotan dari para wali murid. Mereka merasa terbebani karena selain membeli seragam baru, setiap tahun ajaran baru juga diwajibkan untuk membayar uang bangunan. Padahal, pembangunan fisik sekolah jelas-jelas dibiayai penuh dengan uang negara melalui SBSN.
Kasus ini membuka kembali diskursus lama tentang transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran pendidikan, terutama di sekolah negeri yang notabene sudah dibiayai dari berbagai sumber dana pemerintah. Jika pungutan uang bangunan ini terus dibiarkan, maka akan menambah deretan praktik pungutan liar (pungli) yang kerap mencederai dunia pendidikan di daerah.
Dalam hal ini, Kementerian Agama dan Pemerintah Kabupaten Inhil, diharapkan segera turun tangan untuk melakukan evaluasi. Sebab, pendidikan seharusnya tidak menjadi beban tambahan bagi orang tua, terutama di tengah kondisi ekonomi yang kian sulit. (Tim)