Menjelang Hari Santri Nasional, ketika ribuan santri di berbagai penjuru negeri bersiap mengenang jasa para ulama, publik justru dikejutkan oleh tayangan di sebuah stasiun televisi nasional. Tayangan itu menampilkan potongan visual yang menyinggung sosok KH. Anwar Manshur, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Dalam hitungan jam, potongan video tersebut memicu gelombang protes dari para santri, alumni, dan masyarakat pesantren. Bagi mereka, bukan hanya nama seorang kiai yang diserang, tetapi martabat pesantren yang dirobek secara halus di depan publik.
Hasil penelusuran awal menunjukkan bahwa narasi dalam tayangan itu disusun tanpa klarifikasi langsung kepada pihak pesantren. Materinya diambil dari arsip lama, lalu dipotong dan disunting ulang dengan narasi yang seolah mengisyaratkan kehidupan mewah di balik kesederhanaan seorang ulama sepuh. Padahal, siapa pun yang pernah berkunjung ke Lirboyo tahu betul: rumah beliau sederhana, makanannya biasa, dan kesehariannya penuh keheningan. Ironinya, media justru memilih menonjolkan sisi sensasional yang menjauh dari kenyataan.
Pihak pesantren tidak serta-merta membalas dengan kemarahan. Santri dan alumni memilih langkah beradab: mengklarifikasi, menulis surat terbuka, dan menuntut tanggung jawab moral. Namun, kekecewaan tetap meluas karena publik melihat pola lama yang berulang—kesalahan bukan sekadar teknis, melainkan kelalaian etik. Di titik inilah muncul luka yang lebih dalam: ketika keikhlasan dijadikan bahan sensasi, dan khidmat kepada guru dipelintir menjadi bahan tontonan.
Dalam pandangan pesantren, seorang kiai bukan figur biasa. Ia adalah sumber ilmu sekaligus penjaga batin umat. KH. Maimun Zubair pernah mengingatkan, “Kalau kiai direndahkan, jangan salahkan bila berkah negeri ikut surut.” Pesan itu sederhana tapi menampar: penghormatan kepada ulama bukan sekadar tradisi, tapi jaminan keberlanjutan moral bangsa. Karena itu, ketika seorang kiai dilecehkan, yang terluka bukan satu pribadi, melainkan seluruh mata rantai keilmuan yang menuntun umat.
Beberapa jurnalis independen menemukan bahwa naskah tayangan tersebut disusun tanpa riset lapangan dan tanpa narasumber ahli. Tak ada verifikasi, hanya potongan informasi daring yang dijahit demi mengejar rating. Di sinilah kita melihat krisis baru: ketika ruang redaksi kehilangan kepekaan budaya dan menggantinya dengan algoritma perhatian. Media yang lahir dari kecepatan, tapi kehilangan kedalaman.
Nilai etika dalam jurnalisme seharusnya menjadi pagar utama, bukan sekadar formalitas kode etik. Seorang jurnalis senior, Rosihan Anwar, pernah berkata, “Berita yang benar tanpa nurani adalah kebohongan yang sah.” Kalimat ini mengingatkan bahwa media bukan sekadar pabrik berita, melainkan ruang tanggung jawab moral. Ketika nurani ditinggalkan, publik kehilangan arah, dan kepercayaan terhadap media ikut runtuh.
Fenomena bias terhadap pesantren bukan peristiwa tunggal. Sudah sering pesantren digambarkan secara eksotik atau mistik—bukan sebagai lembaga pendidikan modern yang melahirkan pemikir, inovator, dan wirausahawan sosial. Padahal, banyak pesantren kini mengelola ekonomi mandiri, koperasi, hingga literasi digital. Sayangnya, berita semacam itu kalah menarik dibanding drama amplop dan kisah klise tentang karomah.
Dari sisi etik, lembaga seperti Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia seharusnya tak hanya memberi teguran administratif, tetapi menata ulang pedoman peliputan dunia pesantren. Dunia pesantren punya sistem nilai sendiri — tak bisa dibaca dengan kacamata pasar. Jurnalisme yang beradab lahir dari riset, empati, dan pemahaman kultural. Tanpa itu, media hanya akan memproduksi kebisingan yang miskin makna.
Kritikus budaya Goenawan Mohamad pernah menulis, “Kebebasan tanpa tanggung jawab hanya akan melahirkan kekacauan.” Kutipan ini layak direnungkan oleh dunia media hari ini. Di tengah derasnya arus informasi, kebebasan bukan lagi masalah utama—melainkan kebijaksanaan dalam menggunakannya. Media yang tergesa menilai tanpa data sejatinya telah tersesat dalam prasangka yang dipoles menjadi kebenaran.
Kini para santri tidak sedang menuntut permintaan maaf formal, tetapi pemulihan marwah pesantren di ruang publik. Media harus belajar kembali tentang tanggung jawab moral: menyiarkan dengan adab, menulis dengan rasa hormat. Luka akibat tayangan itu tidak akan sembuh dengan pernyataan resmi, melainkan dengan kesadaran baru bahwa kebebasan dan kebijaksanaan harus berjalan seiring. Sebab ketika marwah pesantren terluka, yang sebenarnya berdarah adalah nurani bangsa.
Oleh : Ahmad Marzuki Hasan. S.Ag, MM
Kontributor Independen Untuk Isu Sosial-Ekologis.