Kupang, INVESTIGASI86.COM — Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang seharusnya menjadi bukti kemajuan penyidikan, justru menjadi pengingat akan stagnasi penegakan hukum. Kasus dugaan pengeroyokan yang dilaporkan ke Polsek Fatuleu pada 2013, hingga kini belum juga menemukan titik terang setelah lebih dari 12 tahun berlalu.
Surat SP2HP bernomor SP2HP/5/XI/2013/Polsek Fatuleu itu dikeluarkan pada 19 November 2013, menindaklanjuti laporan polisi LP/28/X/2013 yang diajukan oleh Thobias Kake terkait dugaan pengeroyokan sebagaimana diatur dalam Pasal 170 Ayat (1) KUHP.
Dalam surat tersebut, pihak kepolisian menyebut telah memeriksa tiga terlapor — Yesua O.K. Poen, Ongki Yunedi Poen, dan Yafet Abraham Peon — serta berencana memanggil lima terlapor lain berinisial RP, AP, EO, MF, dan SB. Namun, hingga kini tidak ada tindak lanjut nyata atas janji penyidik untuk menyampaikan perkembangan lanjutan.
Advokat Herry F.F. Battileo, S.H., M.H., menilai kasus ini menjadi contoh nyata lemahnya sistem pengawasan internal di tubuh kepolisian. Ia menyebut SP2HP semacam itu tak lebih dari sekadar dokumen administratif tanpa makna penegakan hukum.
> “SP2HP seharusnya menjadi laporan perkembangan yang hidup, bukan sekadar arsip mati. Ketika selama 12 tahun tidak ada perkembangan, ini bukan hanya soal kelalaian, tetapi soal hilangnya komitmen terhadap keadilan,” ujar Herry di Kupang, Senin (10/11/2025).
Menurut Herry, fakta bahwa surat tersebut juga ditembuskan ke Kapolres Kupang, Wakapolres, dan Kasat Reskrim menunjukkan bahwa pengetahuan tentang kasus ini tidak berhenti di tingkat Polsek. Meski demikian, tidak ada upaya nyata untuk mendorong penyelesaiannya.
> “Publik berhak tahu, apa yang terjadi dengan lima tersangka yang disebut akan dipanggil? Apakah mereka tidak ditemukan, atau memang penyidik yang berhenti mencari? Kasus yang tertidur selama satu dekade lebih adalah preseden buruk bagi institusi penegak hukum,” tegasnya.
Hingga kini, korban Thobias Kake masih menanti kejelasan hukum atas kasus yang menimpanya. Tidak adanya kepastian penyidikan membuatnya, serta masyarakat luas, mempertanyakan keseriusan aparat penegak hukum di tingkat daerah.
Kasus ini menjadi cerminan bagaimana SP2HP—yang semestinya menjadi simbol akuntabilitas kepolisian—justru berubah menjadi “batu nisan” bagi keadilan yang tertunda.
Publik kini menanti langkah Kapolres Kupang saat ini untuk membuka kembali berkas kasus yang telah “berulang tahun ke-12” itu. Setidaknya, kata Herry Battileo, diperlukan penjelasan resmi dan transparan mengenai alasan kemandekan kasus agar kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian tidak semakin tergerus.
—
Penulis: Jefrianus Pati Bean
Editor: [Kaperwil NTT]





