Suatu malam di pinggiran kota, suara notifikasi ponsel tak henti berdenting. Di layar, angka-angka terus bergerak cepat—merah, hijau, lalu merah lagi. Fulan (27) menatap layar itu seperti tersihir. Sekali klik, ia merasa bisa mengubah nasib. Namun beberapa jam kemudian, yang tersisa hanya saldo kosong dan sesal mendalam. “Awalnya cuma coba-coba, tapi lama-lama ketagihan,” ujarnya lirih.
Fenomena seperti Fulan kini menjalar ke berbagai lapisan masyarakat. Judi online—atau yang populer disebut judol—telah menjelma menjadi wajah baru kejahatan digital di Indonesia. Ia hadir dalam balutan permainan menarik, bonus besar, dan promosi yang menggoda, namun sejatinya menyedot uang dan menghancurkan harapan. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat ribuan situs judi online diblokir setiap bulan, tetapi hampir selalu muncul kembali dalam hitungan jam. “Mereka memakai server luar negeri dan algoritma penyamaran yang rumit,” kata Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi.
Namun, perang melawan judol bukan semata urusan teknologi. Di balik layar, beroperasi sistem ekonomi gelap yang rumit dan terorganisir. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan miliaran rupiah berpindah tangan dari ribuan rekening yang terindikasi judi online. Sebagian besar dana mengalir melalui dompet digital dan rekening perantara, membuat jejak uang sulit dilacak. “Kita berhadapan dengan kejahatan lintas negara yang sangat sistematis,” ujar seorang pejabat PPATK yang enggan disebut namanya.
Dari sisi hukum, aturan sebenarnya sudah jelas. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) melarang distribusi maupun akses terhadap konten bermuatan perjudian. Pelaku dapat dipidana hingga enam tahun penjara dan denda maksimal satu miliar rupiah. Namun, penegakan hukum sering tertinggal dari kecepatan internet. Situs bisa diblokir hari ini dan kembali muncul besok pagi dengan domain baru. “Penegakan hukum seperti permainan kucing dan tikus,” ujar Prof. Indriyanto Seno Adji, pakar hukum pidana Universitas Indonesia.
Dari sisi psikologis, bahayanya lebih halus namun mematikan. Menurut Psikolog Sosial Aulia Rahman, judi online menciptakan ilusi kendali dan harapan palsu. Setiap kemenangan kecil memicu produksi dopamin di otak—zat kimia yang menimbulkan rasa senang sesaat. “Mereka tahu sedang kalah, tapi otaknya terus menipu diri sendiri,” kata Aulia. Akibatnya, pemain sulit berhenti, bahkan rela berutang demi mengejar kemenangan semu.
Dampaknya kini tampak nyata di berbagai daerah. Di Jawa Timur, seorang ayah menjual motor keluarga demi menutup kekalahan di situs slot. Di Makassar, seorang mahasiswa berhenti kuliah karena terlilit utang akibat bermain taruhan daring. Judi online tak hanya merampas uang, tapi juga menghancurkan hubungan dan martabat. Banyak keluarga retak dalam diam karena kecanduan yang tak kasat mata.
Dr. Bagus Riyanto, ahli kriminologi Universitas Airlangga, menilai strategi pemberantasan judol selama ini terlalu berfokus pada penindakan, bukan pencegahan. “Negara perlu membangun literasi digital dan sistem ekonomi yang memberi alternatif bagi masyarakat,” ujarnya. Menurutnya, pelaku judi bukan semata penjahat, tetapi juga korban dari ekosistem ekonomi yang timpang dan budaya instan yang kian mengakar.
Media sosial memperburuk situasi. Banyak influencer secara terselubung mempromosikan situs judol dengan kedok game hiburan atau investasi cepat. Iklan-iklan itu dikemas dengan visual mewah dan bahasa persuasif, menargetkan anak muda yang rentan. “Ini candu modern,” kata Dr. Aulia, “dalam bentuk hiburan yang tampak keren.”
Sementara itu, PPATK bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus menelusuri aliran dana dan membekukan ribuan rekening. Namun sistem keuangan digital yang terbuka membuat pelaku mudah membuat akun baru. “Kita tutup satu pintu, mereka buka dua jendela,” ujar seorang penyidik siber. Perang melawan judol bukan hanya soal pemblokiran, tapi juga pembenahan sistem dan peningkatan kesadaran publik.
Pada akhirnya, perang melawan judi online adalah pertarungan melawan mentalitas instan dan pudarnya makna kerja keras. Dunia digital menawarkan kemudahan, namun juga membuka ruang ilusi yang menipu. Jika negara hanya menindak tanpa mendidik, generasi muda akan tumbuh dengan keyakinan keliru: bahwa keberuntungan bisa diklik, bukan diupayakan.
Oleh : Ahmad Marzuki Hasan. S. Ag, MM.
Kontributor Independen Untuk Isu Sosial-Ekologis





