St. Petersburg seketika menjadi panggung hangatnya diplomasi Indonesia dan Rusia. Di Istana Konstantinovsky, Rabu (19/6), Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Vladimir Putin menandatangani kesepakatan investasi strategis senilai €2 miliar, setara Rp37,6 triliun. Angka itu bukan hanya soal nominal, melainkan pesan bahwa Jakarta dan Moskwa ingin mempererat genggaman di banyak sektor vital. Kesepakatan ini dikemas dalam platform bernama Russia-Indonesia Direct Investment Platform (RIDNIP), dan disaksikan langsung oleh para pejabat dan pengamat internasional.
Platform investasi ini dikawal Badan Pengelola Investasi Indonesia Danantara dan Russian Direct Investment Fund (RDIF). Tujuannya jelas: membawa proyek baru di bidang infrastruktur, energi, teknologi inovatif hingga industri manufaktur canggih ke dalam portofolio bilateral. Rosan Roeslani, CEO Danantara, menjelaskan bahwa RIDNIP diharapkan menjadi “jembatan konkret untuk memacu pertumbuhan dan membawa nilai tambah,” ujarnya. Sementara Kirill Dmitriev, CEO RDIF, dalam pernyataannya menyebut kerja sama ini sebagai “katalisator investasi strategis,” dan menegaskan bahwa perjanjian tersebut bisa memperkuat pembangunan berkelanjutan di kedua negara.
Presiden Putin sendiri melihatnya sebagai peluang memperkuat hubungan bilateral di tengah ketidakpastian global. Dalam pidatonya, ia menekankan bahwa perdagangan kedua negara melonjak hingga 40 persen dalam empat bulan terakhir. “Ini bukti nyata bahwa Indonesia dan Rusia bisa saling melengkapi,” kata Putin. Guru Besar Hukum Internasional UI, Prof. Hikmahanto Juwana, menilai langkah ini logis dan strategis. “Di tengah persaingan global, Indonesia harus cerdik memilih mitra dan memperkuat kemandirian ekonominya,” ujarnya.
Selain urusan investasi, kedua negara sepakat melangkah ke ranah baru. Nota kesepahaman di bidang energi nuklir untuk tujuan damai, eksplorasi luar angkasa, pendidikan hingga teknologi informasi resmi disepakati. Presiden Putin bahkan memberi lampu hijau terhadap peluang Indonesia bergabung dalam BRICS. Pengamat hubungan internasional dari Universitas Paramadina, Dr. Makmun Karim, berkomentar bahwa sinyal ini memperlihatkan Rusia ingin memperkuat perannya di Asia Tenggara. “Bergabungnya Indonesia dalam BRICS bisa memperkuat posisi tawar di tatanan global,” ujarnya.
Bagi Presiden Prabowo, RIDNIP adalah pintu untuk memperluas kerja sama berorientasi jangka panjang. Dalam pernyataannya, ia menekankan bahwa investasi harus menghadirkan perubahan nyata hingga ke tingkat masyarakat. “Kita ingin kerja sama ini bukan hanya di kertas, tetapi membawa manfaat hingga ke pelosok negeri,” katanya.
Pengamat menilai perjanjian ini adalah salah satu langkah strategis Jakarta dalam memperluas jaringan kemitraan global. Dengan masuknya Rusia sebagai salah satu mitra investasi utama, Indonesia memberi sinyal bahwa politik luar negerinya makin beragam dan pragmatis. Bagi Rusia, kerja sama ini menjadi peluang memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara sekaligus menghadapi tekanan politik dan ekonomi Barat.
Pada akhirnya, RIDNIP bukan sekadar dokumen investasi. Ia mencerminkan upaya dua negara untuk memperkuat fondasi di tengah dunia yang bergerak cepat dan sering kali tak terduga. Jika dijalankan secara transparan dan berorientasi hasil, inisiatif ini berpotensi menjadi contoh konkret bahwa kerja sama internasional bisa melampaui kepentingan sesaat dan membawa keuntungan nyata untuk kedua belah pihak.
Oleh : Ahmad Marzuki. S. Ag, MM
Pengasuh Pondok Pesantren Thariqul Mahfudz Sumbersari, Melaya, Jembrana, Bali.