Politik Indonesia senantiasa bergerak di antara kewenangan negara dan keragaman aspirasi masyarakat. Setiap kebijakan lahir dari tarik-ulur kepentingan, kompromi, hingga benturan pandangan. Dalam kerumitan itu, pemerintah dituntut melahirkan aturan yang maslahat sekaligus mengikat, agar dapat diwariskan secara relevan bagi seluruh warga.
Sejak awal berdirinya republik, agama hampir tak pernah absen dari perbincangan politik. Ia hadir bukan hanya sebagai keyakinan privat, tetapi juga sebagai wajah publik yang mewarnai setiap kompromi. Dalam sejarah kita, agama menjadi panggung dialektika yang terus bergerak: kadang harmonis, kadang penuh gesekan.
Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah mengikuti pengesahan perubahan atas UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Urusan haji yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Agama kini berdiri sendiri. Perubahan ini bukan sekadar pergantian nomenklatur, melainkan transformasi kelembagaan yang menegaskan haji sebagai urusan strategis yang menyentuh ranah administratif, ekonomi, dan keagamaan sekaligus.
Namun, kisah hubungan agama dan negara jauh lebih panjang. Piagam Jakarta 1945 dengan “tujuh kata” tentang syariat Islam menjadi salah satu tonggak yang hingga kini masih diingat. Perubahan frasa itu menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan kompromi politik demi menjaga persatuan. Sejak saat itu, agama senantiasa berada di ruang tarik-ulur antara aspirasi kelompok Islam dan semangat kebangsaan.
Lahirnya Kementerian Agama pada 1946 menegaskan kesadaran negara bahwa urusan agama tidak bisa dipisahkan dari layanan publik. Regulasi awal, seperti UU Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (1946), menunjukkan bahwa agama berhubungan langsung dengan hak sipil dan administrasi kependudukan. Dari titik itu, regulasi agama terus berkembang, mulai dari UU Perkawinan 1974, Kompilasi Hukum Islam, hingga aturan khusus penyelenggaraan haji.
Urusan haji sejak lama menjadi ruang interaksi antara negara, masyarakat, dan pasar. Pada masa kolonial, umat Islam Nusantara mengelola perjalanan haji secara mandiri. Setelah kemerdekaan, bagian urusan haji dibentuk pada 1946 dan berkembang menjadi direktorat khusus. Perubahan demi perubahan regulasi mencerminkan semakin kompleksnya penyelenggaraan ibadah ini, baik dari sisi logistik, biaya, maupun keterlibatan swasta.
Dengan berdirinya Kementerian Haji dan Umrah, negara berupaya memperkuat tata kelola pelayanan bagi jutaan jamaah. Persoalan antrean panjang, biaya tinggi, mutu layanan, hingga perlindungan jamaah dari praktik komersial menjadi alasan utama pembentukannya. Berbeda dengan isu syariat di masa lalu, langkah ini relatif mudah diterima publik karena menyentuh kebutuhan nyata, bukan sekadar simbol ideologis.
Penerimaan publik atas kebijakan ini juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Haji telah lama menjadi pasar besar—mulai dari transportasi, akomodasi, hingga beragam produk halal. Regulasi yang transparan tidak hanya melindungi jamaah, tetapi juga menjaga kualitas layanan sekaligus reputasi negara. Dalam kerangka ini, agama diposisikan sebagai pelayanan publik yang menyatukan, bukan sebagai instrumen politik identitas yang memecah belah.
Sejarah perdebatan agama dan negara memperlihatkan bahwa kompromi selalu menjadi kunci. Dari Piagam Jakarta, kelahiran Kementerian Agama, hingga regulasi haji, tampak pola yang sama: negara berusaha menempatkan agama dalam bingkai pelayanan. Kini, dengan hadirnya Kementerian Haji dan Umrah, Indonesia menapaki babak baru, ketika syariat, pelayanan publik, dan kepentingan ekonomi bertemu pada satu titik yang sama: kepuasan jamaah dan kemaslahatan bangsa.
Oleh : Ahmad Marzuki Hasan. S.Ag, MM.
Kontributor Independen Untuk Isu Sosial – Ekologis.