More results...

Generic selectors
Cari yang sama persis
Cari berdasarkan judul
Cari berdasarkan konten
Post Type Selectors
Filter by Categories
Bantul
Batam
Bengkulu Utara
Berita Kriminal
Blitar
Catatan Muslim
Daerah
Edukasi
Garut
Gunung Kidul
Halmahera Selatan
Halmahera Tengah
Hiburan
Iklan
Internasional
Investigasi
Jakarta
Jayapura
Kabupaten Bengkalis
Kabupaten Buru
Kabupaten Indragiri Hilir
Kabupaten Indragiri Hulu
Kabupaten Kampar
Kabupaten Kepahiang
Kabupaten Kuantan Singingi
Kabupaten Pelalawan
Kabupaten Rejang Lebong
Kabupaten Rokan hilir
Kabupaten Rokan Hulu
Kabupaten Siak
Kabupaten Tulang Bawang
Karimun
Kesehatan
Kota Dumai
Kota Magelang
Kota Manado
Kota Semarang
Labuhan Batu
Maluku Tenggara
Merangin
Narasi dan Opini
Papua
Pekanbaru
Provinsi BALI
Provinsi Banten
Provinsi Bengkulu
Provinsi DIY
Provinsi Jambi
Provinsi Jawa Barat
Provinsi Jawa Tengah
Provinsi Jawa Timur
Provinsi Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan Tengah
Provinsi Kepri
Provinsi Lampung
Provinsi Maluku
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Provinsi Riau
Provinsi Sulawesi Barat
Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Tenggara
Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Sumatera barat
Provinsi Sumatera Selatan
Provinsi Sumatra Utara
Provisi Maluku Utara
Sejarah
Sleman
Tanggamus
Ternate
Tidore
Tidore Kepulauan
Timor Tengah Selatan
Trenggalek
Video
Way Kanan
Yogyakarta
Yogyakarta

Haji, Negara, dan Babak Baru Pelayanan Publik

Politik Indonesia senantiasa bergerak di antara kewenangan negara dan keragaman aspirasi masyarakat. Setiap kebijakan lahir dari tarik-ulur kepentingan, kompromi, hingga benturan pandangan. Dalam kerumitan itu, pemerintah dituntut melahirkan aturan yang maslahat sekaligus mengikat, agar dapat diwariskan secara relevan bagi seluruh warga.

Sejak awal berdirinya republik, agama hampir tak pernah absen dari perbincangan politik. Ia hadir bukan hanya sebagai keyakinan privat, tetapi juga sebagai wajah publik yang mewarnai setiap kompromi. Dalam sejarah kita, agama menjadi panggung dialektika yang terus bergerak: kadang harmonis, kadang penuh gesekan.

Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah mengikuti pengesahan perubahan atas UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Urusan haji yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Agama kini berdiri sendiri. Perubahan ini bukan sekadar pergantian nomenklatur, melainkan transformasi kelembagaan yang menegaskan haji sebagai urusan strategis yang menyentuh ranah administratif, ekonomi, dan keagamaan sekaligus.

Namun, kisah hubungan agama dan negara jauh lebih panjang. Piagam Jakarta 1945 dengan “tujuh kata” tentang syariat Islam menjadi salah satu tonggak yang hingga kini masih diingat. Perubahan frasa itu menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan kompromi politik demi menjaga persatuan. Sejak saat itu, agama senantiasa berada di ruang tarik-ulur antara aspirasi kelompok Islam dan semangat kebangsaan.

Lahirnya Kementerian Agama pada 1946 menegaskan kesadaran negara bahwa urusan agama tidak bisa dipisahkan dari layanan publik. Regulasi awal, seperti UU Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (1946), menunjukkan bahwa agama berhubungan langsung dengan hak sipil dan administrasi kependudukan. Dari titik itu, regulasi agama terus berkembang, mulai dari UU Perkawinan 1974, Kompilasi Hukum Islam, hingga aturan khusus penyelenggaraan haji.

Urusan haji sejak lama menjadi ruang interaksi antara negara, masyarakat, dan pasar. Pada masa kolonial, umat Islam Nusantara mengelola perjalanan haji secara mandiri. Setelah kemerdekaan, bagian urusan haji dibentuk pada 1946 dan berkembang menjadi direktorat khusus. Perubahan demi perubahan regulasi mencerminkan semakin kompleksnya penyelenggaraan ibadah ini, baik dari sisi logistik, biaya, maupun keterlibatan swasta.

Dengan berdirinya Kementerian Haji dan Umrah, negara berupaya memperkuat tata kelola pelayanan bagi jutaan jamaah. Persoalan antrean panjang, biaya tinggi, mutu layanan, hingga perlindungan jamaah dari praktik komersial menjadi alasan utama pembentukannya. Berbeda dengan isu syariat di masa lalu, langkah ini relatif mudah diterima publik karena menyentuh kebutuhan nyata, bukan sekadar simbol ideologis.

Penerimaan publik atas kebijakan ini juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Haji telah lama menjadi pasar besar—mulai dari transportasi, akomodasi, hingga beragam produk halal. Regulasi yang transparan tidak hanya melindungi jamaah, tetapi juga menjaga kualitas layanan sekaligus reputasi negara. Dalam kerangka ini, agama diposisikan sebagai pelayanan publik yang menyatukan, bukan sebagai instrumen politik identitas yang memecah belah.

Sejarah perdebatan agama dan negara memperlihatkan bahwa kompromi selalu menjadi kunci. Dari Piagam Jakarta, kelahiran Kementerian Agama, hingga regulasi haji, tampak pola yang sama: negara berusaha menempatkan agama dalam bingkai pelayanan. Kini, dengan hadirnya Kementerian Haji dan Umrah, Indonesia menapaki babak baru, ketika syariat, pelayanan publik, dan kepentingan ekonomi bertemu pada satu titik yang sama: kepuasan jamaah dan kemaslahatan bangsa.

Oleh : Ahmad Marzuki Hasan. S.Ag, MM.
Kontributor Independen Untuk Isu Sosial – Ekologis.

Klik tombol tindakan dibawah sesuai pilihanmu untuk membagikan informasi ini!