KEFAMENANU, INVESTIGASI86.COM – Puluhan warga dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menempuh perjalanan jauh dari Kecamatan Polen dan Oenino menuju Kota Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Tujuan mereka bukan untuk berdagang, bukan pula untuk berwisata. Mereka datang dengan satu maksud: mengadu soal ganti rugi lahan Bendungan Temef yang tak kunjung tuntas meski pembangunan proyek strategis nasional itu sudah berjalan bertahun-tahun.
Pada Selasa (19/8/2025), rombongan warga ini mendatangi langsung Bupati TTU, Yosep Falentinus Delasalle Kebo, S.IP., M.A. Pengaduan itu terasa janggal sekaligus unik—karena yang dituju bukan Bupati TTS sebagai otoritas sah, melainkan kepala daerah tetangga. Namun di balik langkah itu, ada cerita panjang tentang rasa kecewa, ketidakpastian, dan perjuangan menuntut hak.
Di hadapan Yosep Kebo, warga Polen dan Oenino menyampaikan keresahan mereka. Lahan yang mereka serahkan untuk pembangunan Bendungan Temef hingga kini belum sepenuhnya diganti rugi. Janji pemerintah daerah, provinsi, hingga pusat, tak banyak yang terealisasi.
Bupati Yosep, yang mendengarkan dengan penuh perhatian, justru menunjukkan sikap yang tidak biasa. Ia tidak menepis atau menolak aspirasi warga TTS meski datang dari luar kewenangannya. Sebaliknya, ia menyambut dengan ucapan penuh empati.
“Saya terima kasih, walaupun AU Ena Nok AU Ama kit, dari dua kecamatan di TTS, Polen dan Oenino, jauh-jauh ke sini hanya untuk menyampaikan beberapa aspirasi,” ujar Yosep dalam unggahan resmi di akun Facebook pribadinya @ Yosep Falentinus Delasalle Kebo, dengan tayangan terkini mencapai 29.284 tayangan,like 1239 dan komentar 101 sedangkan yang bagikan 29 kali .
Ungkapan “AU Ena Nok AU Ama” dalam bahasa daerah menandakan kedekatan dan penghormatan, seakan Yosep sedang berbicara bukan hanya sebagai pejabat, tetapi sebagai sesama orang Timor.
Secara hukum dan administrasi, tanggung jawab atas persoalan ganti rugi lahan Bendungan Temef berada di pundak Pemerintah Kabupaten TTS. Namun Yosep berjanji tidak akan tinggal diam.
“Secara administrasi pemerintahan, saya akan menyampaikan persoalan ini juga kepada Pak Bupati, jangan sampai beliau tidak tahu. Dan saya akan izin bahwa saya akan bantu permasalahan warga TTS terkait ganti rugi di Bendungan Temef,” tegas Yosep.
Pernyataan ini bukan hanya gestur politik, tetapi juga pesan moral. Bahwa seorang pemimpin tidak boleh menutup mata terhadap jeritan rakyat, sekalipun rakyat itu secara teritorial bukan warganya.
Bendungan Temef bukan proyek sembarangan. Ia masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) di Nusa Tenggara Timur. Lokasinya yang membentang di perbatasan TTS dan TTU membuat bendungan ini diharapkan mampu mengairi ribuan hektare sawah, menyediakan air baku, dan mencegah kekeringan kronis di Pulau Timor.
Namun sejak peletakan batu pertama, proyek ini kerap dihantui masalah. Salah satunya adalah ganti rugi lahan yang berlarut-larut. Warga yang melepaskan tanah warisan leluhur demi pembangunan, kini merasa diperlakukan tidak adil.
Sebagian mengaku hanya menerima sebagian pembayaran. Sebagian lain bahkan belum mendapat sepeserpun. Di sisi lain, alat berat terus bekerja, beton demi beton dicor, dan pemerintah pusat mengklaim progres pembangunan berjalan baik.
“Kalau tanah sudah diambil, tapi ganti rugi tidak jelas, itu sama saja rakyat dikorbankan demi proyek,” keluh salah satu warga Polen yang enggan disebut namanya.
Mengapa masalah ini berlarut-larut? Pertanyaan itu terus menggantung. Apakah ada kendala administrasi di tingkat kabupaten? Apakah provinsi kurang serius? Atau apakah pemerintah pusat abai terhadap laporan warga?
Bupati Yosep sendiri menyinggung soal pentingnya komunikasi lintas level.
“Nanti saya coba komunikasikan, saya permisi dulu untuk membantu masyarakat yang belum dapat haknya terkait dengan ganti rugi,” katanya.
Pernyataan ini membuka tabir bahwa persoalan Temef bukan hanya soal uang, tetapi juga tentang politik birokrasi. Antara kabupaten, provinsi, hingga kementerian, sering kali urusan saling lempar tanggung jawab. Di tengah tarik-menarik itu, rakyat kecil yang paling merugi.
Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kabupaten TTS belum memberikan keterangan resmi terkait aduan warganya yang sampai harus mencari perhatian ke kabupaten tetangga. Instansi di tingkat provinsi maupun pusat juga belum berhasil dikonfirmasi.
Yang pasti, suara rakyat dari Polen dan Oenino sudah menggema ke Kefamenanu. Mereka tidak lagi hanya bicara di desa, tidak lagi hanya mengetuk pintu kantor camat atau bupati mereka. Mereka kini berani menyeberang batas administrasi untuk memastikan hak mereka didengar.
Dan Yosep Kebo, Bupati TTU, telah menjanjikan satu hal sederhana tapi berarti: meneruskan aspirasi itu. Entah akan segera ada jawaban, entah akan kembali tenggelam dalam rumitnya birokrasi, waktu yang akan membuktikan.
Bendungan Temef adalah simbol besar. Ia diharap menjadi penopang masa depan pertanian Timor, tetapi juga menyimpan luka akibat janji ganti rugi yang tak kunjung ditepati.
Kisah warga TTS yang mengadu ke Bupati TTU bukan hanya cerita tentang lahan, tapi juga tentang kepercayaan publik kepada negara. Bahwa pembangunan tidak semestinya mengorbankan hak rakyat. Dan bahwa suara kecil di pelosok desa bisa menggema hingga ke panggung politik, jika keberanian untuk bersuara tetap hidup.