TTS, Investigasi.86.com— Forum Pemerhati Demokrasi Timor (FPDT) menyoroti dugaan pelanggaran prosedur dalam proses penerbitan akta kematian oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur. FPDT menilai, terdapat kejanggalan administratif serius yang merugikan keluarga korban.
Melalui pernyataan resmi yang disampaikan kepada media pada Kamis (30/5/2025), Ketua FPDT Doni Tanoen, SE, mengungkapkan bahwa proses penerbitan akta kematian terhadap salah satu warga Desa Mnela Anen tidak mengikuti prosedur standar. Ia menegaskan, akta tersebut diterbitkan tanpa adanya permohonan resmi dari keluarga korban dan tanpa kelengkapan dokumen wajib, seperti KTP, KK, serta keterangan waktu meninggal.
“Yang terjadi bukan hanya pelanggaran administratif biasa, tetapi juga mencerminkan lemahnya kontrol dan akuntabilitas lembaga pelayanan publik. Bagaimana mungkin akta kematian bisa terbit tanpa dasar yang sah?” kata Doni
Lebih lanjut, FPDT mengungkapkan bahwa akta kematian tersebut tidak pernah diserahkan kepada keluarga korban. Sebaliknya, dokumen justru diketahui telah dikirimkan langsung kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten TTS.
“Surat keterangan kematian dari Desa Mnela Anen pun tidak pernah ditujukan kepada Dukcapil. Tetapi mengapa akta bisa tetap diproses dan diterbitkan? Dan lebih aneh lagi, kenapa akta tersebut malah diteruskan ke KPU, bukan ke keluarga?” ujar Doni.
Pernyataan ini disampaikan setelah FPDT mengikuti proses persidangan yang menghadirkan Kabid Adminduk dari Dukcapil TTS sebagai saksi. Dalam kesaksiannya, pejabat tersebut mengakui adanya kelalaian dalam prosedur, dan menyebut bahwa peristiwa ini merupakan pelanggaran administratif.
FPDT meminta agar tidak hanya kepala desa dan dua orang saksi yang dimintai pertanggungjawaban dalam perkara ini. Doni menekankan pentingnya keterlibatan Dukcapil dan KPU dalam proses pemeriksaan hukum, karena keduanya memiliki peran langsung dalam proses penerbitan dan distribusi dokumen yang dimaksud.
“Kami menuntut agar kasus ini ditangani secara serius oleh aparat penegak hukum. Hukum harus ditegakkan agar menjadi pelajaran bagi semua institusi layanan publik di TTS. Tidak boleh ada pembiaran terhadap pelanggaran prosedur yang menyangkut hak-hak dasar warga negara,” tegasnya.
FPDT juga mendorong adanya pembenahan sistem layanan administrasi kependudukan di tingkat kabupaten, khususnya di TTS. Menurut Doni, peristiwa ini menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih ketat dari DPRD, Ombudsman, maupun lembaga pengawas lainnya agar pelayanan publik tidak hanya cepat, tetapi juga akurat dan sesuai hukum.
“Pelayanan publik tidak boleh semata-mata mengejar efisiensi, tetapi harus taat pada mekanisme dan aturan yang berlaku. Membantu warga boleh, namun tidak boleh mengabaikan prosedur,” ujarnya.
Kasus ini diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat akuntabilitas dan integritas dalam sistem administrasi kependudukan, terutama menjelang tahun-tahun politik yang rawan manipulasi data.