Inhil _ Riau
Kritik akademisi Haryono sekaligus Presiden Bangsa Orang Laut terkait istilah Duanu dalam tulisan Zainal Arifin Hussein menuai tanggapan. Haryono menilai Zainal bukan sejarawan, ahli bahasa, atau antropolog, sehingga penggunaan istilah Duanu dianggap tidak memiliki dasar ilmiah kuat.
Menanggapi hal itu, Zainal, yang kini tengah menempuh studi doktoral Social Development di Philipina, menyampaikan ucapan terima kasih atas masukan dan kritik yang diberikan. “Saya menerima kritik tersebut dengan terbuka, sekaligus menyadari ada kekurangan dalam tulisan saya. Namun perlu saya tekankan bahwa tulisan saya lahir dari pengalaman lapangan, interaksi langsung dengan masyarakat, serta kerangka ilmu pembangunan sosial yang menempatkan komunitas sebagai subjek, bukan objek,” ujar Zainal.
“Selama bertahun-tahun saya berinteraksi melalui Yayasan Bangun Desa Payung Negeri (BDPN) dan Ikatan Keluarga Duanu Riau (IKDR). Aspirasi mereka jelas: ingin dikenal sebagai Duanu, bukan sekadar Orang Laut,” lanjutnya.
Hak Identitas sebagai Hak Asasi
Menurutnya, istilah Orang Laut sering kali disematkan pihak luar dan menyamaratakan banyak komunitas pesisir yang sebenarnya memiliki nama, bahasa, dan budaya unik. Sebutan Duanu adalah identitas yang diwariskan leluhur, dan masyarakat menegaskannya sebagai simbol martabat.
Dalam perspektif pembangunan sosial, suara masyarakat adalah data empirik yang sahih. Zainal menekankan, ilmu ini tidak hanya berbicara soal ekonomi atau budaya, melainkan juga tentang martabat dan hak dasar komunitas.
“Seperti ditegaskan Amartya Sen dalam Development as Freedom, pembangunan sejati adalah ketika komunitas bebas menentukan identitas dan masa depannya sendiri,” tambahnya.
Secara hukum, hak menentukan identitas dijamin oleh UUD 1945, UU No. 39/1999 tentang HAM, hingga Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP, 2007). Dengan demikian, perjuangan komunitas Duanu untuk diakui bukan sekadar wacana, tetapi hak konstitusional.
Menghapus Stigma, Menatap Masa Depan
Momentum 80 Tahun Kemerdekaan RI seharusnya dimaknai bukan hanya sebagai perayaan simbolik, tetapi juga sebagai wujud kemerdekaan menentukan identitas dan penghormatan atas identitas itu sendiri. Bagi komunitas Duanu, pengakuan atas nama yang mereka pilih merupakan bentuk kebanggaan dan martabat, bukan sekadar label etnis.
Stigma masa lalu sering menempel pada istilah Orang Laut. Karena itu, komunitas ingin melangkah ke depan dengan identitas yang mereka pilih sendiri, Duanu. Ini bukan sekadar persoalan nama, melainkan persoalan martabat dan hak dasar.
Di kawasan Nusantara kita mengenal Bajau, Moken, Sama, Duano, Duanu, dan lain sebagainya. Semua ini menunjukkan bahwa “bangsa Orang Laut” adalah sebuah payung besar yang menaungi banyak sub-komunitas. Semua nama itu menunjukkan kekayaan budaya yang layak dihormati. Begitu pula dengan Duanu, yang tengah memperjuangkan pengakuan identitasnya dalam bingkai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Catatan untuk Kepemimpinan
Zainal menilai bahwa seorang pemimpin yang baik mestinya menghargai keragaman identitas sebagai kekuatan persatuan. Menghormati pengakuan komunitas Duanu, menurutnya, bukan hanya etika, tetapi juga cara membangun solidaritas sosial.
“Tulisan saya tidak untuk memecah belah, melainkan untuk mendokumentasikan aspirasi masyarakat. Perbedaan nama adalah modal sosial, bukan pemisah. Menghormati pengakuan komunitas berarti menghormati sejarah, martabat, dan masa depan bangsa Orang Laut,” pungkasnya.
Oleh :
Zainal Arifin Hussein
Aktivis Yayasan Bangun Desa Payung Negeri (BDPN) dan mahasiswa doktoral Social Development di PWU Philipina.