“Bangsa atau Orang Laut di Nusantara ini beragam, dengan adat, budaya, dan agama yang berbeda-beda. Kami ingin menegaskan bahwa Orang Laut di Indragiri Hilir adalah Duanu, dan Islam adalah agama kami.” ujar Irwan
Di pesisir Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, Orang Laut telah hidup berabad-abad, menyatu dengan laut dan mangrove, menjaga ekosistem pesisir dengan kearifan leluhur. Namun, di balik keindahan laut dan hutan bakau yang mereka rawat, tersimpan luka sosial yang belum sembuh. Publik lebih sering memanggil mereka “Orang Laut”. Istilah ini mungkin terdengar biasa di telinga orang luar, tetapi bagi mereka, kata itu membawa sejarah panjang ejekan, diskriminasi, dan pelecehan identitas.
Anak-anak mereka tumbuh dengan beban stigma. Di sekolah, mereka ditertawakan karena disebut “anak Orang Laut”, membuat rasa percaya diri terkikis dan identitas sendiri terasa memalukan. Perempuan-perempuan mereka kerap menerima tatapan merendahkan saat berbelanja atau melintas di jalan. Laki-laki mereka dicap bodoh, malas, dan tidak berguna, lalu tersingkir dari peluang sosial maupun ekonomi. Setiap ejekan dan tatapan merendahkan adalah pengingat pahit bahwa identitas mereka diposisikan di bawah, padahal tangan merekalah yang menjaga laut, memelihara mangrove, dan memberi kehidupan bagi pesisir. Kata itu bukan sekadar sebutan, melainkan simbol ketidakadilan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Menghadapi kenyataan yang menyakitkan ini, komunitasnya Orang Laut memilih langkah berani meneguhkan identitas baru, “Duanu”. Langkah ini bukan perkara ganti nama belaka, tetapi perlawanan terhadap stigma, pernyataan harga diri, dan tuntutan pengakuan yang sah dari publik. Dari luka panjang itu lahirlah tekad untuk berdiri sejajar dengan kelompok lain, tanpa lagi dibayangi trauma masa lalu. Identitas Duanu membawa marwah, rasa hormat, dan kebanggaan yang selama ini dirampas oleh stigma.
Sesungguhnya, mereka adalah Orang Laut. Tetapi stigma yang melekat begitu lama telah melukai, menorehkan trauma, dan membuat setiap panggilan “Orang Laut” terasa seperti penghinaan. Luka itu belum benar-benar hilang. Karena itulah mereka ingin dihormati dengan nama baru, Duanu, yang mengangkat martabat. Meski demikian, mereka tidak menanggalkan jati dirinya. Mereka tetap mengakui diri sebagai bagian dari Orang Laut, hanya saja dengan tekad kuat bahwa stigma harus dihentikan. Mereka ingin memastikan generasi berikutnya bisa menyebut dirinya “Orang Laut” atau “Orang Laut Duanu” dengan kepala tegak, penuh bangga, dan berdaulat.
Dorongan sempat datang dari sebagian pihak agar sebutan lama, “Orang Laut”, kembali dipakai demi kemudahan publik. Tetapi masyarakat Duanu menolak tegas. Nama Duanu bukan sekadar label, melainkan perisai dari bayang-bayang penghinaan. Nama ini mengikat mereka dengan sejarah, budaya, dan agama, sekaligus menjadi garis pembatas antara penghormatan dan diskriminasi. Seorang tokoh mereka dengan lantang menyatakan, “Bangsa atau Orang Laut di Nusantara ini beragam, dengan adat, budaya, dan agama yang berbeda-beda. Kami ingin menegaskan bahwa Orang Laut di Indragiri Hilir adalah Duanu, dan Islam adalah agama kami.”
Identitas ini pun berakar pada keyakinan yang mereka pegang. Dengan semboyan “DUANU NU AUNEH ISLAM, ISLAM NU DUANU”, mereka menegaskan menjadi Duanu berarti menjadi Muslim, dan Islam adalah ruh yang menghidupkan komunitas Duanu. Nilai-nilai Islam membimbing mereka dalam menjaga laut, merawat mangrove, dan menghidupi pesisir. Kearifan leluhur mereka terekam dalam prinsip adat Hoyyu Barau Untuk Bertedoh, Usah Ditebang Bia Nyu Tumboh pesan sakral bahwa mangrove adalah benteng kehidupan yang tak boleh dihancurkan. Bagi Duanu, mangrove bukan sekadar pohon, melainkan penopang marwah dan masa depan mereka di pesisir.
Kini, ketika Indonesia merayakan 80 tahun kemerdekaan pada 17 Agustus 2025, makna kemerdekaan bagi Duanu tidak hanya terbebas dari penjajah, tetapi juga terbebas dari stigma. Mereka ingin merdeka dalam menegaskan nama, merdeka dalam menuntut pengakuan, dan merdeka dalam menjalankan keyakinan Islam mereka tanpa diskriminasi. Nama Duanu adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, kemenangan atas luka sosial, sekaligus peringatan keras bagi publik jangan ulangi sejarah kelam merendahkan mereka.
Duanu sadar, mereka tetap bagian dari Orang Laut. Tetapi mereka menolak stigma yang dipasangkan pada istilah itu. Karena itu, identitas baru bukanlah penolakan sejarah, melainkan cara untuk menulis sejarah baru yang lebih adil. Dan meskipun mereka masih menerima sebutan “Orang Laut Duanu”, mereka menginginkannya diucapkan dengan penghormatan, bukan ejekan.
Semangat ini adalah pesan bagi seluruh bangsa penghormatan pada identitas adalah syarat utama persaudaraan. Duanu memilih jalan berliku untuk mempertahankan marwahnya. Mereka sudah terlalu lama dipandang rendah. Kini saatnya publik mengakui mereka apa adanya sebagai Orang Laut yang berdaulat, sebagai Duanu yang bermartabat.
Oleh: Zainal Arifin Hussein
Aktivis BDPN / Mahasiswa Doktoral Social Development, Philippine Women’s University (PWU), Filipina