SOE, INVESTIGASI86.COM – Aroma penyimpangan anggaran kembali menyeruak dari gedung wakil rakyat di Soe. Proposal kegiatan Tenis Meja DPRD Cup II sebesar Rp440 juta yang diajukan kepada KONI Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), ternyata tidak dibiayai oleh KONI, melainkan mengalir dari dana Pokok Pikiran (Pokir) milik salah satu anggota DPRD Fraksi Hanura.
Fakta ini diungkap oleh Ketua Forum Pemerhati Demokrasi Timor (FPDT), Doni Tanoen, SE, yang menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk manipulasi mekanisme anggaran dan potensi konflik kepentingan antara legislatif dan eksekutif.
“Proposal itu ditujukan kepada KONI, tapi anggarannya berasal dari Pokir anggota dewan. Ini aneh sekaligus mencurigakan. Ada indikasi kuat penyalahgunaan mekanisme penganggaran,” tegas Doni kepada Investigasi86.com, Kamis (23/10/2025).
Menurutnya, Pokir semestinya digunakan untuk menyalurkan aspirasi masyarakat hasil reses, bukan membiayai kegiatan yang mengatasnamakan lembaga DPRD atau kepentingan kelompok tertentu di parlemen.
“Dana Pokir itu dari masyarakat dan harus kembali ke masyarakat, bukan ke kegiatan yang menonjolkan nama DPRD atau fraksi tertentu. Kalau seperti ini, jelas sudah keluar dari relnya,” ujar Doni dengan nada keras.
FPDT menilai, pola penggunaan dana publik semacam ini menunjukkan lemahnya transparansi dan akuntabilitas keuangan di lingkungan DPRD TTS. Dony bahkan menyebutnya sebagai praktik “kamuflase anggaran” yang menjadikan label pembinaan olahraga sebagai tameng bagi kepentingan politik pribadi.
“Narasi pembinaan atlet itu cuma bemper. Di baliknya, ada upaya meloloskan dana Pokir untuk kegiatan yang seharusnya tidak dibiayai dari sumber itu. Ini modus lama, dikemas dengan bungkus baru,” ungkapnya tajam.
Doni mendesak Kejaksaan Negeri Soe, Polres TTS, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera menelusuri aliran dana tersebut.
“Kami minta aparat hukum bertindak cepat dan tidak tebang pilih. Ini uang publik, dan penggunaannya harus terang-benderang. Kalau tidak disikapi serius, ini bisa jadi preseden buruk bagi tata kelola keuangan daerah,” katanya.
Kejanggalan makin mencolok ketika diketahui bahwa dana Pokir anggota DPRD Fraksi Hanura dari Dapil II justru digunakan untuk kegiatan di Dapil I.
“Ini lucu dan memalukan. Dana aspirasi Dapil II kok dipakai di Dapil I? Kalau benar dana itu hasil reses, tidak mungkin muncul kegiatan bertajuk ‘DPRD Cup’. Ini indikasi kuat bahwa reses itu hanya formalitas,” sindir Doni pedas.
FPDT menilai tindakan tersebut sebagai bentuk penyimpangan fungsi representasi. Dana yang semestinya menjadi saluran kepentingan rakyat malah berubah menjadi alat pencitraan politik legislatif.
“Kegiatan tenis meja itu aspirasi dari masyarakat yang mana? Atau justru aspirasi dari 40 anggota dewan? Kalau begitu, ini bukan olahraga rakyat, tapi olahraga kekuasaan,” kritik Doni keras.
FPDT mendesak BPK Perwakilan NTT dan Inspektorat Daerah TTS segera melakukan audit investigatif terhadap dana Pokir tahun anggaran berjalan. Mereka khawatir ada pola serupa pada kegiatan lain yang dibungkus dengan dalih pembinaan olahraga atau kegiatan sosial.
“Kalau tidak ditindak, akan muncul banyak kegiatan serupa dengan dalih pembinaan atlet atau event sosial. Padahal isinya praktik korupsi yang dikemas rapi,” ucap Doni.
“Kami akan melapor ke KPK. Penyalahgunaan dana Pokir ini sudah terang-terangan, tidak bisa lagi ditutup-tutupi,” tegasnya menutup wawancara.
Dugaan penyimpangan dana publik melalui mekanisme Pokir DPRD bukan hal baru. Namun, jika benar dana aspirasi masyarakat digunakan untuk membiayai kegiatan berlabel lembaga DPRD, maka publik berhak bertanya: siapa yang sebenarnya dilayani oleh para wakil rakyat itu — rakyat atau kepentingan mereka sendiri?