SOE, Investigasi86.com– Pelaksanaan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) di SMP Negeri Noeokan, Kecamatan Amanatun Utara , Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (27/8/2025), menyita perhatian publik. Pasalnya, ujian berbasis komputer yang seharusnya digelar di ruang kelas, justru berlangsung di atas bukit sejauh 2,5 km dari sekolah.
Terpantau melalui unggahan di grup WhatsApp sekitar pukul 11.50 WITA, para guru dan siswa terlihat duduk bersila di bawah pohon asam, menatap laptop dan gawai masing-masing. Mereka rela meninggalkan ruang kelas demi mendapat jaringan internet yang stabil agar ANBK bisa berjalan.
Kepala sekolah SMP Negeri Noeokan, Ebenheser Taloim, S.Pd, saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon,mengakui kondisi sulit tersebut. Ia menyebut pelaksanaan ANBK di sekolahnya memang penuh tantangan karena keterbatasan jaringan internet.
“Sekolah kami termasuk daerah sangat tertinggal, tersulit, dan terbelakang. Aktivitas yang berhubungan dengan IT sudah pasti sulit, apalagi full online seperti ANBK. Tidak ada jaringan internet sama sekali di sekolah. Minimal kebutuhan ANBK itu 600 KB/s, makanya terpaksa kami bawa peserta dengan laptop, chromebook, bensin, terminal listrik, kabel, dan genset ke puncak bukit yang kami namai Lokasi Asam 2, karena di sana ada dua pohon asam untuk berlindung dari terik matahari,” jelas Ebenheser.
Meski penuh keterbatasan, Ebenheser menegaskan pihaknya tetap berkomitmen melaksanakan ANBK sebagai bentuk dukungan terhadap program pemerintah.
“Sulit, tapi bisa diatasi. Kami happy dan enjoy dalam kesulitan. Ini bentuk dukungan kami pada misi Indonesia Maju, Indonesia Hebat,” tambahnya.
Namun, ia juga menitipkan pesan tajam kepada pemerintah agar program pendidikan berbasis digital disusun dengan mempertimbangkan kondisi riil di lapangan.
“Dalam membuat program, terutama di bidang pendidikan, harus didahului dengan observasi objektif terhadap semua lini. Jangan gunakan Jawa sebagai sampel lalu menyimpulkan seluruh Indonesia siap. Tolong perhatikan sekolah-sekolah di daerah tersulit. Kalau sekolah kami tidak diperhatikan tidak apa-apa, masih bisa diatasi. Tapi kalau masih ada ribuan sekolah yang sama seperti kami, mimpi Indonesia Emas itu hanya angan-angan,” tegasnya.
Fenomena ANBK di atas bukit ini menjadi ironi di tengah jargon digitalisasi pendidikan. Alih-alih menunjukkan kemajuan, ujian nasional berbasis komputer justru membuka wajah buram infrastruktur pendidikan di daerah tertinggal.
SMP Negeri Noeokan mungkin bisa “menikmati dalam kesulitan”, tapi pertanyaan besarnya: apakah negara juga bisa menikmati kritik yang lahir dari realita ini?