Laporan Wartawan INVESTIGASI86.COM– SoE, Nusa Tenggara Timur
Soe-INVESTIGASI86.COM-Langit SoE, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), siang itu tampak cerah meski panas menyengat menelusup tajam ke kulit. Namun semangat tak surut dari ratusan warga yang perlahan berkumpul di halaman depan Markas Komando Polres TTS, Selasa (5/6/2025). Mereka datang bukan untuk mengobarkan permusuhan, melainkan menyuarakan keresahan.
Dengan spanduk dan pengeras suara, mereka membentuk barisan rapi. Massa berasal dari berbagai organisasi masyarakat sipil—Aliansi Gerakan Perubahan (AGP), PRABU Kebangkitan Nusantara, AGRA NTT, FMN Kupang, hingga ITA-PKK. Sebuah aliansi lintas gerakan yang menyatukan suara atas dua persoalan yang mereka nilai mendesak untuk ditindaklanjuti.
Mereka menuntut dua hal. Pertama, penuntasan dugaan pungutan liar (pungli) di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan. Kedua, pengusutan dugaan pengeroyokan terhadap Ardi A. Talan yang melibatkan aparat desa dan seorang guru P3K.
Di tengah barisan, Niko Mana’o berdiri tegap. Ia bukan orang baru dalam dunia gerakan. Aktivis sekaligus koordinator aksi ini telah banyak memimpin aksi serupa. Tapi kali ini, ia mengaku membawa keyakinan berbeda. Dalam orasinya, Niko menyampaikan nada harapan, bukan kemarahan.
“Kami datang karena kami percaya hukum masih bisa ditegakkan. Kami percaya, Kapolres TTS sebagai pemimpin baru, mampu berdiri di atas kebenaran,” seru Niko dengan suara lantang yang menggema di bawah langit TTS.
Kebanyakan aksi demonstrasi selama ini berakhir dengan ketegangan. Namun siang itu, lembaran baru dalam hubungan rakyat dan aparat dibuka secara mengejutkan.
Di tengah riuh orasi, Kapolres TTS AKBP Hendra Dorizen, S.H., S.I.K., M.H., keluar dari kantornya. Tanpa barikade. Tanpa pengeras suara. Tanpa sekat.
Ia berjalan ke arah massa dengan senyum ramah. Matanya menatap lurus ke arah para demonstran. Tidak ada helm, tidak ada tameng. Hanya tangan terbuka dan suara tenang yang segera mengubah suhu emosi menjadi kehangatan yang tak terduga.
“Kalau Bapak Mama datang ke sini, itu artinya kita sama-sama pejuang. Dan pejuang itu harus didengar,” ucap Kapolres dengan suara tenang.
“Kami di Polres butuh masukan, butuh suara rakyat. Jangan ragu untuk bicara, karena saya akan jawab sendiri.”
Respons itu seperti angin segar yang menyapu ruang-ruang publik yang selama ini beku oleh ketidakpercayaan. Massa yang sebelumnya bersuara lantang mulai melembut. Seruan tuntutan berubah menjadi dialog.
Tanpa bertele-tele, Kapolres menjawab dua tuntutan utama massa di hadapan publik—langsung, transparan, dan lugas.
“Ngapain kita tunggu lama? Hari ini juga kita jawab. Kita kerja hari ini, bukan nanti,” tegasnya.
Ia didampingi Kabag Ops, Kasat Intel, Kasat Reskrim, dan pejabat operasional lainnya, yang juga berdiri bersama di tengah kerumunan.
Sorak sorai pun berubah nada. Dari “Turunkan!” menjadi “Hidup Kapolres!”. Dari “Kami muak!” menjadi “Ini baru polisi rakyat!”. Kata-kata yang lahir dari kejujuran rasa.
Momen paling menyentuh terjadi di akhir aksi. Kapolres tak hanya menjawab tuntutan. Ia mengajak massa masuk ke halaman dalam markas kepolisian untuk berfoto bersama.
“Gedung ini milik rakyat. Mari kita foto bersama sebagai tanda persaudaraan,” ajaknya.
Sontak, massa tersentak kagum. Suasana yang sebelumnya panas berubah menjadi penuh senyum dan pelukan.
Langkah itu bukan sekadar simbol. Ia menjadi narasi baru yang menyiratkan bahwa ruang publik bisa dibangun atas dasar kepercayaan, bukan curiga. Atas dasar keterbukaan, bukan ketakutan.
Usai aksi, kepada Investigasi86.com, Niko Mana’o menyampaikan rasa terharu yang mendalam. Ia mengaku bahwa aksi hari itu menjadi pengalaman yang mengubah pandangannya tentang bagaimana negara hadir.
“Saya ini sudah biasa aksi. Tapi baru kali ini saya mendapatkan jawaban langsung dari Kapolres di depan massa. Tanpa diwakili. Tanpa harus menunggu surat balasan. Ini sejarah buat saya pribadi,” ujar Niko dengan mata berkaca.
Ia menambahkan bahwa masyarakat menitipkan seluruh laporan dan pengaduan kepada Kapolres untuk ditindaklanjuti dengan serius dan transparan.
“Kami pulang hari ini bukan karena kami lelah. Tapi karena kami puas. Karena kami merasa dihargai,” ucapnya.
Apa yang terjadi di SoE pada 5 Juni 2025 mungkin tidak diliput secara luas oleh media nasional. Namun di mata rakyat yang hadir di sana, hari itu menjadi sejarah. Sejarah kecil yang mengubah wajah demokrasi lokal.
Aksi yang semula berpotensi menegang justru berakhir dengan pelukan persaudaraan. Demonstrasi yang biasanya disambut pagar kawat besi, hari itu disambut tangan terbuka dan senyum yang jujur.
Di tengah maraknya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga hukum, apa yang dilakukan Kapolres TTS menunjukkan bahwa kepercayaan bisa dipulihkan. Bukan dengan retorika, tetapi dengan tindakan nyata—dan keberanian untuk hadir.
Karena pada akhirnya, bukan seberapa besar kekuasaan yang dimiliki yang membuat seorang pemimpin dihormati. Melainkan seberapa besar keberaniannya untuk mendengarkan.