TTS _ NTT
Soe, 01 November 2025
Komunitas RIMPAF Timor Tengah Selatan menyesalkan pernyataan Wakil Bupati TTS yang menyebut bahwa tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak disebabkan oleh faktor ekonomi dan kurangnya infrastruktur seperti CCTV dan penerangan jalan. Pernyataan tersebut dinilai tidak hanya dangkal, tetapi juga menyesatkan, karena mengabaikan akar persoalan struktural dan budaya yang justru menjadi penyebab utama kekerasan di daerah ini.
Data resmi dari UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak di bawah DP3A TTS menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak terjadi karena ruang publik yang gelap, melainkan karena lingkungan sosial dan hukum yang membiarkan kekerasan itu hidup. Dalam rentang 2021 hingga Oktober 2025, tercatat lebih dari 400 kasus kekerasan, dengan bentuk yang berulang dari tahun ke tahun: kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran, pemaksaan hubungan, hingga persetubuhan anak. Sebagian besar kasus justru terjadi di ranah domestik, yaitu di dalam rumah, bukan di jalan yang gelap tanpa CCTV.
Koordinator Divisi pendidikan dan literasi sosial RIMPAF TTS, Dedy Tafui, menegaskan bahwa penjelasan Wakil Bupati itu menunjukkan minimnya pemahaman pejabat publik terhadap persoalan kekerasan berbasis gender. “Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan karena ekonomi atau kurang lampu, tapi karena sistem sosial dan pemerintahan yang membiarkan pelaku merasa aman. Pernyataan pejabat seperti ini memperlihatkan betapa rendahnya komitmen moral pemerintah terhadap perlindungan korban,” ujar Honing.
RIMPAF memandang bahwa masalah sesungguhnya terletak pada lemahnya penegakan hukum, ketiadaan pendampingan psikologis yang memadai, serta buruknya koordinasi antarinstansi dalam menangani kasus. Dari 55 kasus yang tercatat sepanjang 2025, hanya sekitar 10 kasus yang dinyatakan tuntas. Itu berarti sebagian besar korban masih menunggu keadilan, sementara pelaku tetap bebas di masyarakat. Jika pemerintah benar-benar serius, semestinya fokus diarahkan pada penguatan sistem hukum, peningkatan kapasitas aparat, dan dukungan nyata bagi korban, bukan menuding lampu jalan sebagai penyebab.
Lebih jauh, RIMPAF menilai pernyataan Wakil Bupati tersebut berbahaya karena mengalihkan tanggung jawab negara menjadi urusan teknis semata. Kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah hasil dari ketimpangan kuasa, budaya patriarki, dan ketidakberanian lembaga pemerintah menegakkan perlindungan hukum. “Lampu jalan mungkin bisa mencegah pencurian, tapi tidak akan menghentikan ayah yang memukul anaknya, guru yang melecehkan muridnya, atau pejabat yang mempermainkan bawahan,” tegas Dedy.
RIMPAF menyerukan agar pejabat publik di Kabupaten TTS berhenti memberikan pernyataan yang menyederhanakan masalah sosial yang kompleks. Pemerintah daerah seharusnya menunjukkan empati dan tanggung jawab dengan membangun sistem perlindungan yang berpihak kepada korban, yaitu dari pendidikan kesetaraan gender di sekolah, pelatihan bagi aparat penegak hukum, hingga pembentukan mekanisme cepat tanggap terhadap laporan kekerasan.
“Yang dibutuhkan bukan CCTV, tapi kesadaran dan keberanian pejabat untuk berpihak pada korban,” tutup Dedy Tafui (Rls)





