Langkah Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi bukan sekadar seremonial politik. Ada kesan kuat bahwa kali ini negara benar-benar hendak memutus rantai kotor yang selama ini membelit tubuh birokrasi. Saat Presiden menyaksikan langsung penyerahan uang hasil sitaan korupsi CPO senilai Rp13,2 triliun, publik seperti melihat babak baru dalam sejarah pemerintahan. Aksi itu bukan hanya menunjukkan kekuatan hukum, tetapi juga pesan moral: bahwa kerak kerak korupsi tak boleh lagi dibiarkan menumpuk di tubuh bangsa.
Dalam pidatonya, Presiden menegaskan bahwa korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Ia menyebut, bangsa tidak akan maju jika aparatur negara masih terjebak dalam kerakusan harta dan kekuasaan. Ucapan itu menembus ruang publik sebagai peringatan moral: membangun negara tak cukup dengan kecerdasan administratif, tapi juga dengan kesucian nurani. Di sinilah letak pembeda antara pemimpin yang berbicara dan pemimpin yang bertindak.
Sinyal ini mendapat sambutan hangat dari kalangan masyarakat sipil dan para ahli hukum. Pakar hukum tata negara Refly Harun menyebut langkah Presiden sebagai “arah baru penegakan hukum yang berani dan tidak pandang bulu.” Ia mengingatkan, “Pemberantasan korupsi bukan sekadar urusan hukum, tapi urusan moral bangsa.”
Sementara itu, Prof. Zainal Arifin Mochtar, Guru Besar Hukum Universitas Gadjah Mada, menilai langkah ini harus dijaga konsistensinya. “Kekuatan politik sering kali bisa menekan semangat pemberantasan korupsi. Karena itu, komitmen moral pemimpin menjadi benteng terakhirnya,” ujarnya.
Namun perjuangan melawan korupsi bukan jalan mulus. Banyak kepentingan yang saling beradu di balik meja kekuasaan. Ketika “uang pelicin” mulai ditertibkan, ada pihak yang resah, ada pula yang diam diam melawan. Di titik inilah integritas pemimpin diuji—apakah sanggup tetap tegak di tengah tekanan atau perlahan tunduk pada kompromi kekuasaan.
Kasus Rp13,2 triliun dari perkara korupsi CPO menjadi simbol penting bahwa negara bisa kuat bila ada kemauan politik di puncak tertinggi. Publik akhirnya melihat bukti, bukan sekadar janji. Uang sitaan yang selama ini hanya angka di berita kini menjadi bukti nyata kerja sama antara pemerintah dan aparat hukum. Momen ini menumbuhkan kembali rasa percaya diri bangsa bahwa sistem masih bisa diselamatkan.
Dalam konteks moral, pesan Buya Hamka terasa amat relevan. Ia pernah menulis, “Korupsi lahir bukan karena miskin harta, tetapi karena miskin iman.” Kalimat itu seperti teguran lembut bagi para pejabat yang hidup bergelimang fasilitas namun kering nilai. Bangsa yang kehilangan iman akan mudah tergelincir, bukan karena kurang undang-undang, tapi karena kehilangan rasa takut kepada Tuhan.
Langkah Presiden ini juga menjadi ajakan agar rakyat tidak apatis. Korupsi tidak hanya terjadi di gedung megah, tapi juga di ruang-ruang kecil kehidupan sehari-hari: dari pungutan liar di jalan, manipulasi data, hingga penyalahgunaan amanah di tempat kerja. Pemberantasan korupsi sejati bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan panggilan kesadaran kolektif seluruh warga negara.
Arah ke depan harus lebih sistemik. Pengawasan publik perlu diperkuat, sistem digitalisasi pelayanan harus dijalankan secara transparan, dan laporan keuangan mesti bisa diakses publik. Namun, teknologi tidak akan berarti tanpa etika. Hanya dengan kejujuran dan rasa takut kepada Tuhan, sistem bisa benar-benar hidup.
Bangsa yang bersih bukanlah utopia. Ia bisa diwujudkan bila rakyat dan pemimpinnya sama-sama berani menolak kompromi atas keburukan. Jika ketegasan Presiden diikuti kesadaran rakyat, maka pemberantasan korupsi akan menjadi gerakan moral, bukan sekadar proyek hukum.
Sebagaimana kata Buya Hamka, “Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang kaya harta, melainkan bangsa yang besar imannya.” Itulah cermin sejati dari moral bangsa: keberanian untuk bersih di tengah dunia yang kotor.
Oleh : Ahmad Marzuki Hasan. S.Ag, MM
Kontributor Independen Untuk Isu Sosial-Ekologis





