Sleman _ DIY
Tidak lanjut dari aksi damai para penambang rakyat sungai Progo yang berlangsung kemarin, hari ini kepala BBWSSO mengundang dan memimpin langsung pertemuan yang dalam undangan tertulis Kepala Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, Kepala Kepolisian Polda DIY, Kepala Dinas ESDM DIY , Sekretaris Daerah Yogyakarta, Bupati Bantul ,-Bupati Kulonprogo, Bupati Sleman ,Komandan Resor Militer , Komandan Distrik Militer (Bantul, Kulon Progo, Sleman) ,Kepala Satuan Kepolisian Sektor (Bantul, Kulon Progo, Sleman), Komandan Group 2 Koppasus.Pertemuan ini dilaksanakan dalam rangka menindaklanjuti surat dari PPPS No 01/PPPS/Oktober /2025 perihal Pemberitahuan kegiatan Aksi Damai.
Di saat berlangsung pertemuan yang bertempat di ruang rapat ATAB Jalan Solo Km.13 justru kebebasan pers kembali tercoreng. Insiden memalukan terjadi di lingkungan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO), ketika sejumlah jurnalis dilarang masuk untuk melakukan peliputan dan konfirmasi terkait aksi unjuk rasa para penambang rakyat Sungai Progo kemarin.
Larangan tersebut bukan datang dari aturan tertulis, melainkan dari instruksi lisan yang dikatakan sebagai “perintah pimpinan”. Security di gerbang hanya menyampaikan satu kalimat dingin: “Maaf, wartawan tidak boleh masuk, ini perintah pimpinan.”tuturnya,kamis 16/10/2025
Padahal, para jurnalis datang dengan identitas jelas, membawa kartu pers, dan menjalankan tugas konstitusional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal 4 ayat (3) undang-undang itu ditegaskan bahwa “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.”
Dengan menutup akses informasi, BBWSSO bukan hanya bersikap diskriminatif terhadap jurnalis, tetapi juga secara nyata melanggar hak publik untuk tahu. Apa yang disembunyikan dari masyarakat? Mengapa lembaga pemerintah yang seharusnya melayani publik justru menutup diri dan menghalangi kerja pers?
Aksi unjuk rasa para penambang rakyat di halaman BBWSSO seharusnya menjadi momentum transparansi—tempat publik menilai sejauh mana negara hadir untuk menengahi persoalan perizinan tambang rakyat yang selama ini menggantung. Namun yang terjadi, justru represi halus terhadap kerja jurnalistik.
Seorang jurnalis lokal yang berada di lokasi menyampaikan kekecewaannya. “Kami hanya ingin menjalankan tugas, bukan mengganggu. Tapi akses ke dalam ditutup. Ini jelas bentuk pembatasan kerja pers,” ujarnya.
Jika lembaga pemerintah mulai menormalisasi tindakan melarang wartawan melakukan peliputan, maka yang terancam bukan hanya profesi jurnalis, melainkan demokrasi itu sendiri.
Pers adalah mata dan telinga rakyat. Menutup mata pers sama saja dengan membutakan publik terhadap kenyataan.
Sudah saatnya publik dan komunitas pers bersatu mengecam tindakan semacam ini. Karena di balik pagar yang tertutup bagi wartawan, ada aroma ketertutupan yang menguarkan tanda tanya besar.(Tim/Ant)