SoE, INVESTIGASI86. COM– Suasana dunia pendidikan di Kabupaten Timor Tengah Selatan kembali memanas. Forum Pemerhati Demokrasi Timor (FPDT) secara terbuka menyampaikan kritik pedas terhadap praktik pungutan iuran komite di SMP Negeri 1 Amanuban Selatan.
FPDT menilai praktik tersebut bukan hanya menciderai hati para orang tua murid, tetapi juga bertentangan dengan komitmen pemerintah pusat terkait program pendidikan gratis sembilan tahun. Bukankah pendidikan gratis digembar-gemborkan sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap rakyat kecil? Lalu, kenapa justru di sekolah negeri, orang tua harus dipaksa menanggung beban pungutan yang tidak jelas arahnya?
Ketua FPDT dalam keterangannya menegaskan, pihaknya benar-benar prihatin sekaligus geram melihat kondisi ini. Ia menuding ada praktik pembiaran dan ketidaktransparanan dalam pengelolaan dana komite yang berpotensi menciptakan ruang penyalahgunaan wewenang.
“Kalau sekolah swasta masih bisa dimaklumi, karena mereka dikelola yayasan. Tetapi ini sekolah negeri! Jangan sekali-kali pendidikan negeri dijadikan mesin uang untuk menguras kantong orang tua murid. Kami minta Kepala Sekolah SMPN 1 Amanuban Selatan bicara jujur, terbuka, dan bertanggung jawab,” tegas Ketua FPDT.
Menyampaikan laporan rinci, jelas, dan transparan tentang penggunaan dana komite.
Menjelaskan dasar pungutan kepada orang tua murid secara terbuka, bukan dengan alasan mengada-ada.
Melibatkan orang tua murid serta dewan guru dalam pengelolaan dana, agar tidak terkesan hanya dikuasai segelintir pihak.
Doni menegaskan, jika Kepala Sekolah dan Komite SMPN 1 Amanuban Selatan tidak bisa mempertanggungjawabkan pungutan iuran ini, maka persoalan tersebut tidak boleh berhenti di meja rapat internal. Ada konsekuensi hukum yang harus siap ditanggung.
“Jangan kira orang tua murid tidak paham aturan. Kalau tidak bisa mempertanggungjawabkan dana itu, Kepala Sekolah dan Komite harus siap diproses hukum. Jangan hanya berlindung di balik istilah komite sekolah lalu seenaknya menarik uang,” lanjut FPDT dengan nada keras.
Doni juga mengingatkan bahwa praktik pungutan tanpa kejelasan bukan hanya melanggar prinsip transparansi, tapi juga berpotensi mengarah pada indikasi penyalahgunaan jabatan. Pendidikan, kata FPDT, adalah hak rakyat, bukan ladang bisnis.
Kasus ini kini menjadi buah bibir masyarakat TTS, terutama para orang tua murid. Kekecewaan mulai menggunung. Mereka bertanya-tanya: apakah benar janji pendidikan gratis hanyalah slogan manis pemerintah? Atau memang ada oknum di lapangan yang sengaja membajak kebijakan mulia ini demi keuntungan kelompok tertentu?
Masyarakat kini menunggu langkah nyata Kepala Sekolah SMPN 1 Amanuban Selatan. Apakah ia akan berani membuka laporan keuangan secara transparan, atau justru memilih bungkam dan bersembunyi di balik alasan klasik yang tidak bisa dipertanggungjawabkan?
“Kami tidak main-main. Jika Kepala Sekolah masih berkelit, maka FPDT bersama orang tua murid siap membawa kasus ini ke ranah hukum. Jangan uji kesabaran rakyat kecil. Pendidikan harus berpihak pada anak-anak bangsa, bukan jadi arena pungli berkedok iuran komite!”
Kasus SMPN 1 Amanuban Selatan kini menjadi cermin betapa masih jauhnya praktik transparansi dalam dunia pendidikan di daerah. Pertanyaan besar pun menggelayut: apakah sekolah negeri benar-benar bebas pungutan, atau justru sedang melahirkan praktek baru bernama “pendidikan gratis yang bayar?