SOE,INVESTIGASI86.COM — Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, tengah menghadapi krisis integritas serius. Badan Kehormatan (BK) sebagai instrumen etik internal legislatif resmi dinyatakan tidak kuorum menyusul penarikan dan pengunduran diri sejumlah anggotanya. Krisis ini mencuat di tengah sorotan publik terhadap dugaan pelanggaran etik yang melibatkan Ketua BK, anggota DPRD dari Fraksi Hanura berinisial SN.
Dugaan pelanggaran etik tersebut berkaitan dengan komunikasi yang menyeret nama SN dalam pembicaraan soal distribusi kuota sapi dengan seorang pengusaha lokal. Dugaan ini menimbulkan persepsi negatif di tengah masyarakat mengenai praktik transaksional di lingkungan legislatif, sekaligus menggerus kepercayaan terhadap fungsi pengawasan internal DPRD.
Kondisi menjadi semakin kompleks ketika pimpinan DPRD terkesan pasif, tanpa pernyataan maupun tindakan tegas untuk menyikapi stagnasi fungsi BK. Kelumpuhan BK sebagai alat kelengkapan dewan telah menciptakan kekosongan mekanisme etik, padahal lembaga ini memiliki mandat konstitusional untuk menegakkan disiplin, etika, dan marwah kelembagaan DPRD.
Sikap fraksi-fraksi di DPRD TTS pun menjadi sorotan. Mayoritas bersikap normatif dan menghindari tanggung jawab substansial.
Fraksi PDI Perjuangan, melalui juru bicaranya Yerim Yos Fallo, menyatakan bahwa evaluasi BK menjadi kewenangan pimpinan DPRD. Namun tidak ada dorongan konkret untuk langkah korektif, meskipun salah satu anggotanya secara resmi mengundurkan diri dari BK.
Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Hanura juga tidak memberikan respons tegas. Kedua fraksi cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada pimpinan tanpa menawarkan solusi. Hal ini menuai kritik karena justru oknum dari Fraksi Hanura yang saat ini menjadi pusat dugaan pelanggaran etik.
Di sisi lain, Fraksi Partai Golkar menyuarakan sikap lebih terbuka dan kritis. Ketua Fraksi Golkar, Ruba Banunaek, mendesak agar pimpinan DPRD segera memanggil BK dan menuntaskan persoalan yang mencoreng citra lembaga. Menurutnya, diamnya pimpinan hanya akan memperkuat persepsi publik bahwa lembaga legislatif cenderung saling melindungi.
Sikap paling sistematis disampaikan oleh Fraksi Partai Perindo. Melalui Ketua Fraksi Marthen Natonis, Perindo mendorong agar penggantian anggota BK dilakukan sesuai dengan Tata Tertib DPRD, khususnya merujuk pada Pasal 55 dan 56. Fraksi ini juga mengusulkan dilakukannya pertemuan formal antara pimpinan DPRD dan pimpinan fraksi-fraksi untuk merumuskan langkah penyelematan lembaga secara kolektif.
Sementara itu, Fraksi Partai NasDem menjadi satu-satunya fraksi yang menyampaikan kritik tajam secara langsung terhadap kepemimpinan lembaga. Ketua Fraksi NasDem, Hendrikus B. Babys, menilai bahwa krisis ini bukan hanya menyangkut individu, tetapi mencerminkan kegagalan struktural dalam menjalankan prinsip-prinsip etik dan kepemimpinan.
“Ketika saya pernah diproses oleh BK, lembaga bersikap agresif. Tapi saat ketua BK sendiri terindikasi melanggar etik, tidak ada tindakan apa pun. Ini menunjukkan standar ganda dalam penegakan etika,” ungkapnya tegas.
Babys menambahkan bahwa efek dari kelumpuhan BK kini merambah pada aspek kedisiplinan dan produktivitas DPRD. Ia menyoroti ketidaktertiban, absensi dalam paripurna, hingga lemahnya pengawasan, sebagai dampak langsung dari tidak berfungsinya lembaga etik.
Forum Pemerhati Demokrasi Timor (FPDT) secara terbuka menilai DPRD TTS saat ini kehilangan wibawa. Julukan “macan ompong” disematkan karena lembaga dianggap gagal menegakkan disiplin dan kode etik secara konsisten. Kritik ini dinilai sangat relevan, mengingat hingga saat ini belum ada sikap resmi dari unsur pimpinan DPRD terkait kebuntuan di tubuh BK.
Kondisi ini menandai bahwa persoalan yang dihadapi DPRD TTS tidak lagi sekadar soal etik individu, tetapi telah berkembang menjadi krisis kepemimpinan institusional.
Sorotan tajam terhadap DPRD TTS tidak akan mereda selama pimpinan lembaga bersikap pasif. Ketegasan dan komitmen terhadap integritas adalah kebutuhan mendesak saat ini. Jika tidak ada langkah nyata untuk membenahi struktur BK, mengganti anggota yang bermasalah, dan memulihkan fungsi pengawasan etik, maka DPRD TTS terancam kehilangan satu-satunya aset paling berharga dalam sistem demokrasi: kepercayaan publik.
Rakyat tidak membutuhkan wakil yang hanya kuat dalam pernyataan, tetapi lemah dalam tindakan. Mereka menanti langkah korektif, bukan klarifikasi. Pada titik ini, keberanian politik dan ketegasan etik menjadi penentu apakah DPRD TTS layak disebut lembaga terhormat, atau sekadar formalitas tanpa fungsi.