Di tengah derasnya arus digital dan tekanan hidup urban, relasi manusia justru semakin ringkih. Salah satu tanda retaknya adalah meningkatnya kasus perselingkuhan. Tak lagi sembunyi di balik pintu rumah tangga, perselingkuhan kini menjelma menjadi fenomena sosial yang tak malu-malu. Ia ada di ruang kerja, komunitas, hingga layar ponsel pribadi. Diam-diam, tapi dalam diam itu menyebar kerusakan yang dalam.
Laporan dari Komnas Perempuan dan LBH APIK mencatat bahwa hampir 1 dari 4 aduan kekerasan rumah tangga dipicu oleh pengkhianatan pasangan. Sementara itu, Google Trends menunjukkan peningkatan pencarian kata kunci “selingkuh” dan “hubungan gelap” sejak pandemi. Ironis, justru saat keluarga lebih banyak di rumah, godaan digital meningkat pesat.
Perselingkuhan bukan sekadar kisah cinta menyimpang. Ia menggerogoti fondasi kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun. “Infidelity adalah salah satu trauma emosional paling sulit disembuhkan karena mengubah persepsi diri dan dunia sekitar,” ujar psikolog keluarga Anna Surti Ariani. Kepercayaan yang hancur, menyisakan luka yang tak bisa disembuhkan hanya dengan permintaan maaf.
Di ruang publik, kasus ini menjelma jadi skandal. Mulai dari selebritas, pejabat, hingga tokoh publik. Salah satu yang menyita perhatian adalah dugaan relasi tak wajar antara pimpinan daerah dan bawahannya. Meski tak terbukti secara hukum, aroma ketidakpantasan mencoreng institusi dan memperburuk iklim kepercayaan publik.
Namun dampak paling dalam tetap dirasakan oleh keluarga. Anak-anak dari keluarga yang dilanda pengkhianatan emosional rentan mengalami kecemasan, trauma ikatan, dan keraguan terhadap otoritas orang dewasa. “Efek domino dari infidelity meluas lebih dalam dari yang kasat mata,” tegas Prof. Irwanto, Guru Besar Psikologi Sosial UI.
Celakanya, ruang digital mempercepat segalanya. Aplikasi chatting terenkripsi, obrolan privat, hingga godaan instan dari media sosial memperluas “zona abu-abu” antara loyalitas dan kebebasan. “Media sosial telah menciptakan ruang legitimasi baru bagi perselingkuhan emosional,” ujar Dr. Rachmat Hidayat, pengamat budaya dari Universitas Airlangga.
Tak kalah berbahaya, masyarakat kian permisif. Candaan soal istri kedua, konten viral soal “open relationship”, hingga meme tentang selingkuh menyebar tanpa sensor. Kita sedang menormalisasi pengkhianatan dan menjadikannya gaya hidup. “Ini bukan soal moral semata, tapi krisis nilai yang merayap ke dalam budaya pop kita,” tambah Rachmat.
Sayangnya, regulasi belum cukup menjawab kompleksitas persoalan ini. Dalam UU Perkawinan, infidelity baru disebut sebagai alasan perceraian—tanpa perhatian terhadap dampaknya di dunia kerja, pendidikan, dan kesehatan mental. Ruang intervensi negara masih minim, padahal dampaknya nyata dan sosial.
Jika relasi antar insan adalah fondasi terkecil dari tatanan sosial, maka pengkhianatan bukan sekadar masalah privat. Ia adalah cermin dari budaya yang sedang mengalami pelapukan. Kita perlu memulihkan ruang kepercayaan, bukan dengan larangan semata, tapi dengan membangun kembali makna kesetiaan yang relevan dengan zaman.
Oleh : Ahmad Marzuki. S.Ag, MM. Penulis opini dan narasi sosial yang bergaya reflektif dan kontekstual.