KUPANG, Investigasi86.com — Praktik pungutan liar dengan alasan “dana taktis” terhadap tenaga kesehatan dinilai sebagai tindakan kejahatan kemanusiaan sekaligus tindak pidana korupsi. Hal ini ditegaskan Advokat Herry Battileo, SH, MH, yang menyoroti potensi penyimpangan di lapangan.
“Apapun alasannya, tidak boleh ada pemotongan hasil kerja tenaga kesehatan dengan dalih dana taktis. Itu masuk kategori kejahatan kemanusiaan, dan dalam hukum jelas terbaca sebagai tindak pidana korupsi,” kata Herry saat ditemui wartawan di Kupang, Jumat (3/10/2025).
Herry yang juga pendiri sekaligus pengawas Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surya NTT menegaskan bahwa tenaga kesehatan (nakes) merupakan ujung tombak pelayanan publik. Menurutnya, memotong hak mereka sama saja dengan meruntuhkan pilar kesehatan masyarakat.
“Kalau masyarakat sakit, kesehatan terganggu, bagaimana mereka bisa berpikir jernih dan belajar dengan baik? Tenaga kesehatan adalah salah satu tolok ukur kecerdasan bangsa,” ujarnya.
Dugaan Pemotongan 10–20 Persen
Lebih lanjut, Herry mengungkapkan adanya dugaan praktik pemotongan 10 hingga 20 persen terhadap insentif nakes di sejumlah puskesmas dengan dalih dana taktis. Pola ini, menurutnya, berpotensi menurunkan semangat kerja dan membuka ruang penyimpangan administrasi.
“Kalau pemotongan ini terjadi, nakes bisa saja terpaksa membuat laporan fiktif, termasuk SPJ yang tidak sesuai fakta,” jelasnya.
Herry yang juga Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Media Online Indonesia (MOI) NTT menambahkan, dalam satu tahun anggaran, puskesmas rata-rata mengelola sedikitnya Rp1 miliar dengan empat kali pencairan. Jika terjadi pemotongan 10 persen, potensi kebocoran dana bisa mencapai Rp100 juta setahun.
“Parahnya, pemotongan ini kerap disebut sebagai kesepakatan bersama. Faktanya, tidak semua nakes setuju. Mereka terpaksa menandatangani daftar karena takut dipindahkan ke Pustu yang jauh. Lebih buruk lagi, uang hasil pungutan tidak dipertanggungjawabkan dengan jelas, dan diduga dimakan sendiri oleh oknum kepala puskesmas serta bendahara,” ungkapnya.
Seruan Pencegahan, Bukan Sekadar Penindakan
Herry, yang juga Ketua DPC PERADI Kabupaten Kupang, menilai kejahatan serupa banyak terjadi di berbagai daerah. Ia mengingatkan pentingnya pencegahan sebelum kerugian negara membesar.
“Kalau aparat penegak hukum peka, praktik ini bisa dicegah sejak awal. Jangan tunggu sampai terjadi baru diekspos sebagai keberhasilan penindakan. Lebih baik mencegah kebocoran daripada negara terus-menerus dirugikan,” tegasnya.
Ia mencontohkan pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengingatkan agar aparatur negara segera mengembalikan uang negara jika terbukti menyalahgunakan anggaran. “Kalau korupsi Rp100 juta, lalu hanya dikembalikan Rp10 juta, negara tetap rugi Rp90 juta. Belum lagi biaya memberi makan, kesehatan, dan fasilitas bagi pelaku selama di lembaga pemasyarakatan,” ujarnya.
Apresiasi untuk Bupati dan Kajari Kupang
Di akhir wawancara, Herry memberikan apresiasi kepada Bupati Kupang yang menurutnya telah menunjukkan langkah pencegahan nyata.
“Setelah 100 hari dilantik, beliau memerintahkan audit penggunaan dana desa. Ketika ditemukan penyimpangan, langsung diperintahkan untuk mengembalikan uang ke kas negara. Itu luar biasa,” kata Herry.
Ia juga mengapresiasi langkah Kejaksaan Negeri Kupang di bawah kepemimpinan Kajari Selan, yang memeriksa penggunaan anggaran pembangunan puskesmas dan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) senilai puluhan miliar rupiah. “Faktanya, IPAL yang dibangun tidak berfungsi sama sekali. Itu tanggung jawab kadis, PPK, dan bendahara,” katanya menutup pembicaraan.