kua’aus, INVESTIGASI86.COM — Di tengah keterbatasan sarana dan prasarana yang sangat memprihatinkan, SMP Negeri Kua’Aus, Kecamatan Amanatun Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, berhasil menyelenggarakan Penilaian Sumatif Akhir Jenjang Satuan Pendidikan (PSAJSP) Tahun Ajaran 2024/2025. Ujian perdana ini dilaksanakan pada Senin (5/5/2025) di sebuah gedung darurat yang jauh dari standar kelayakan.
Sebanyak 11 siswa angkatan pertama sekolah tersebut mengikuti ujian dengan semangat yang tak surut, meskipun harus berjibaku dengan cuaca yang tidak bersahabat serta keterbatasan sarana seperti meja, kursi, dan papan tulis. Kondisi ini memantik perhatian serius dari Forum Pemerhati Demokrasi Timor (FPDT).
“Alarm nyata bagi pemerintah” Ketua Bidang Pendidikan FPDT, Yefta Banunaek, S.Pd., menyampaikan apresiasi mendalam kepada Kepala Sekolah Joni Rasius Kase, S.Pd., Gr., jajaran guru, panitia ujian, serta para siswa yang tetap menunjukkan dedikasi dan keteguhan luar biasa di tengah segala keterbatasan.
“Kami sangat terharu melihat semangat anak-anak ini. Mereka adalah simbol ketangguhan. Namun, keteguhan mereka juga menjadi alarm nyata bagi pemerintah bahwa masih banyak wilayah yang menjerit dalam diam,” ujar Yefta saat dikonfirmasi INVESTIGASI86.COM.
FPDT mendesak Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan, khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, untuk segera membangun gedung sekolah permanen serta melengkapi fasilitas pendukung seperti meja, kursi, papan tulis, ruang kelas, dan fasilitas dasar lainnya.
Landasan hukum jelas Menurut FPDT, desakan ini memiliki dasar hukum yang kuat. Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan, “Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan peserta didik.”
Selain itu, Permendikbud Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA mewajibkan setiap sekolah memiliki ruang kelas, perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, tempat ibadah, toilet, hingga fasilitas olahraga secara memadai.
“Kita tidak bisa menormalisasi anak-anak belajar di ruang darurat tanpa fasilitas memadai. Negara tidak boleh absen dari tanggung jawab konstitusionalnya,” tegas Yefta.
Ajakan lintas pihak FPDT juga menyerukan kepada seluruh elemen bangsa — mulai dari pemerintah pusat, DPR RI, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga komunitas lokal — untuk bergotong royong membantu percepatan pembangunan sekolah di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), termasuk Amanatun Utara.
“Ini bukan semata tanggung jawab pemerintah daerah. Dari pusat hingga daerah, dari kementerian hingga komunitas akar rumput, semua pihak punya tanggung jawab moral untuk menjamin hak pendidikan yang adil, bermartabat, dan setara bagi setiap anak bangsa,” pungkas Yefta.
Potret ketimpangan Kisah SMP Negeri Kua’Aus mencerminkan potret ketimpangan akses pendidikan di Indonesia. Ketika anak-anak di kota belajar di ruang berpendingin dan duduk di kursi empuk, anak-anak di pelosok justru bertahan dengan dinding kayu lapuk dan atap bocor.
FPDT menegaskan, momentum ini harus menjadi titik balik kesadaran kolektif bahwa pembangunan pendidikan tak boleh lagi meninggalkan anak-anak di ujung negeri. Pemerintah diminta segera bertindak konkret, bukan hanya menebar janji.